Friday, May 24, 2013

Sapi Dahlan vs Sapi Luthfi



Suatu kali di tahun 1964 saat Ganjang Malaysia di Istana Bogor. Saat itu pertarungan terbesar Indonesia sesungguhnya bukanlah soal negara boneka Malaysia, tapi soal ‘Politik Pasar’ yang hendak dibangun Bung Karno, Pasar yang berdaulat atas bangsa ini, Pasar yang memiliki kekuatan atas modal sendiri.

Saat itu politik pasar mendapatkan halangan dari kekuatan ekonomi Malaysia dan Singapura yang sudah disetting menjadi negara kapitalis yang membendung kekuatan kapital Indonesia. Bung Karno membahasakan Berdikari itu dengan gaya politik, padahal tujuannya adalah akumulasi modal untuk Republik. Bung Karno berkata :


----------------
Kemarin dulu, di Bogor saya katakan: Justru idee Berdikari ini yang membuat kaum imperialis gemetar. Jikalau, konferensi AA yang kedua bisa terjadi, karena mereka yakin lain kali, kalo konperensi AA kedua terjadi di Aljazair, dan di situ Indonesia menganjurkan BERDIKARI, BERDIKARI, BERDIKARI, kepada seluruh ra’yat Asia dan Afrika, aku berkata di Bogor,’Lonceng kematian imperialisme berbunyi.’ Sebab inti daripada imperialisme adalah membuat bangsa-bangsa enggak berdiri di atas kaki sendiri.

Prinsip – inti daripada imperialisme adalah membuat bangsa2 memerlukan barang2 bikinan imperialis, memerlukan persenjataan daripada pihak imperialis, memerlukan bantuan daripada pihak imperialis. MALAYSIA, APAKAH ENGKAU BERDIKARI??? SAMA SEKALI TIDAK! Kalau mau pertahanan tidak berhenti2,’oy minta tolong, Inggris, minta tolong, Australie, minta tolong, New Zealand. Heeeh, kalau betul2an kau anggota commonwealth, tolonglah kami. Hey Australie kalau betul2 kau anggota dariapda commonwealth, tolonglah kepada kami. Hey New Zealand, kalau betul2 kau anggota daripada commonwealth, tolonglah kepada kami! TOLONG, TOLONG, TOLONG! MANAKAH BERDIKARINYA, SAUDARA2, SAMA SEKALI TIDAK ADA!!!

(Pidato Bung Karno soal Malaysia, 1964)
---------------

Pidato Bung Karno diatas menghendaki bangsa ini berdikari, berdikari itu adalah seluruh konsep integral agar bangsa ini tidak bergantung dikte apapun disegala lini, bangsa ini memiliki kekuatan sendiri sebagai penyumbang peradaban besar dunia.

Lalu kenapa kita kini tergantung dengan impor tentang hal-hal yang seharusnya tidak perlu kita impor, bayangkan dengan usaha-usaha rakyat yang sesungguhnya sudah tradisional saja dan dikenal menyejarah dalam ekonomi kerakyatan seperti garam kita masih impor. Persoalan impor dan kedaulatan ini diam-diam sudah menjadi titik didih pertarungan internal di kalangan kabinet SBY.

Bagaimana kemudian sapi saja kita tidak bisa membangun definisinya sendiri sebagai peternakan rakyat yang bisa menciptakan pasar, dimana pasar tidak hanya dibatasi ‘Pasar saat Idul Adha’ tapi pasar keseharian. Peternak kita menahan penjualan sapi-nya pada saat idul adha, saat permintaan tinggi. Tapi apa yang terjadi dengan Pasar kita, bagaimana peternak tidak menguasai pasar sapi dan malah impor sapi dengan permainan kuota menjadi bintang atas panggung ekonomi rakyat? sehingga pemain-pemain impor harus menciptakan upeti bagi kelompok yang merasa menguasai industri impor sapi ini.

Sapi bagaimanapun adalah bagian dari ekonomi rakyat, kita masih ingat di jaman dulu tentang hari pasaran, WS Rendra, penyair besar Indonesia pernah berkisah soal bagaimana siklus pasar rakyat dibuka, “Siklus itu ada yang namanya pasaran, hari-hari pasaran menciptakan pasar tertentu, seperti Pasar Wage, Pasar Pon atau Pasar Pahing, nah salah satu siklus itu ada yang hanya menjual ternak atau menjual padi. Setelah jalan Daendels dibangun, maka struktur siklus itu hancur, perdagangan terjadi amat cepat, namun sisa Pasar Sapi di wilayah-wilayah tertentu masih ada, lalu kenapa Pasar Sapi lokal menjadi hancur lebur digantikan menjadi pasar sapi impor?

Sapi Sebagai Mesin Politik

Tak ada selain Presiden Suharto yang begitu terobsesi dengan Sapi, waktu umur 5 tahun Suharto sudah menyukai sapi dan kerbau, kenangan paling awal yang ia ingat tentang kerbaunya adalah saat ia menggembala kerbau dan kerbaunya terperosok, bagi Suharto kecil kekayaannya yang paling berharga adalah sapi, disinilah ia kemudian merasa bahwa ia amat ingin beternak sapi.

Di Tapos, Suharto menciptakan dua panggung : Panggung ekonomi rakyat berbasis sapi dan Panggung Politik untuk acara menggebuk lawan-lawan politiknya, karena bila acara ancaman menggebuk ia lakukan di Istana maka itu artinya ‘keterlibatan formal negara’, dan Tapos secara tak lain adalah ungkapan ‘kekuasaan personal’.

Namun ada yang menarik soal Tapos, yaitu : Pak Harto menciptakan centruum pengembangan benih sapi, pengembangan ini dilakukan dengan inseminasi buatan yang laboratoriumnya dibangun sendiri, lalu Suharto membentuk apa yang namanya ‘Kanal Kekayaan Negara Untuk Rakyat’ ‘ berupa Sapi Banpres.

Satu hal ‘politik impor sapi’ dimasa Pak Harto amat dipersulit, Pak Harto punya ambisi agar Sapi Banpres akan menstimulir kekayaan rakyat, di masa Orde Baru banyak kita lihat di pedesaaan Jawa masih ada orang yang tidur dan makan di dalam rumah, dimana di dalam rumahnya ada sapi, bagi mereka sapi adalah kekayaan rakyat dari gedoran pintunya langsung, inilah yang dilihat Suharto.

Pada tahun 1983 Suharto mencanangkan apa yang disebut impor bibit benih sapi, disini ia mulai menciptakan pengayaan sapi yang diternakkan masyarakat, ia canangkan itu di Boyolali dan Boyolali Jawa Tengah dijadikan Suharto sebagai titik nol swasembada daging sapi dan susu jangka panjang. Pada tahun 1984 digerakkan budaya minum susu sapi, yang digerakkan sendiri dengan pemerintah. Namun sayang sentral sapi di Boyolali yang dibangun Pak Harto menjadi puso alias bangkrut karena tidak adanya kesadaran strategi jangka panjang oleh pemerintah.

No comments:

Post a Comment