Sunni lebaran Minggu, Syiah keesokan harinya. Di Irak, tidak ada gejolak atas perbedaan itu. Pemerintah tidak terlibat. Masing-masing golongan mengumumkan hari rayanya sendiri.
Hari itu saya salat Ied di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani. Letaknya di tengah kota Baghdad. Tidak sampai 15 menit naik mobil dari hotel Isthar (dahulu Hotel Sheraton), tempat saya menginap. Hotel ini terletak di samping taman yang patung Saddam Husseinnya dirobohkan itu.
Nama Syekh Abdul Qadir Jailani sangat terkenal di Indonesia. Dialah tokoh utama tarikat/tasawuf Naqsyabandiyah, khususnya aliran Qadiriyah. Sejak saya kecil, nama ini sudah saya hafal. Doa-doa yang diucapkan ayah saya, selalu menyebut nama itu di bagian akhirnya.
Ke sinilah memang, ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani ini, tujuan utama saya pergi ke Baghdad. Selama dua hari di Baghdad, tiga kali saya ke makam tokoh tasawuf ini.
Tentu saya juga ziarah ke makam Abu Hanifah. Meski di Indonesia umumnya menganut mazhab Syafi’i, tidak ada salahnya ziarah ke makam pendiri mazhab Hanafi ini. Toh letaknya juga di dalam kota Baghdad yang terpisah hanya sekitar 5 km.
Dua makam ini sama-sama terletak di dalam masjid. Seperti makam Nabi Muhammad yang terletak di dalam masjid Nabawi. Pengunjung tidak henti-hentinya ziarah.
Di masjid Syekh Abdul Qadir Jailani, usai salat Ied, sebuah bendera hitam dengan tulisan Arab berwarna kuning emas, diusung ke depan masjid. Ternyata itulah bendera “kebangsaan” tarikat Naqsyabandiyah. Orang pun berebut menciuminya.
Pimpinan masjid ini, yang juga Mursyid (pimpinan) Tarikat Naqsyabandiyah Qadiriyah, adalah keturunan ke-17 Syekh Abdul Qadir Jailani. Masih muda, sekitar 35 tahun. Pagi itu, kami dijamu makan pagi khas Arab. Tentu diselingi diskusi mengenai tarikat Naqsyabandiyah.
Dia juga banyak bertanya mengenai pengikut tarikat ini di Indonesia. “Saya ingin ke Indonesia menemui mereka. Waktu ke Malaysia tahun lalu saya ingin mampir ke Indonesia tapi ada masalah visa,” katanya.
“Keluarga kami sering ke Malaysia. Ayah kami meninggal di Malaysia tahun lalu,” tambahnya.
Orang-orang Irak memang sangat mudah datang ke Malaysia. Tapi masih sulit untuk mendapatkan visa ke Indonesia. Akibatnya hubungan dagang Indonesia-Irak ketinggalan jauh dari Malaysia. Perdagangan Indonesia-Irak baru USD 100 juta. Sedang Irak-Malaysia sudah mencapai hampir USD 1 miliar. Padahal Malaysia belum membuka kedutaan di Iraq.
Ekonomi Menggeliat
Kami juga ziarah ke pusat aliran Syiah: Najaf dan Karbala. Najaf terletak sekitar 300 km di luar kota Baghdad. Atau 4 jam perjalanan dengan mobil.
Sebenarnya banyak yang mengingatkan agar saya tidak ke sana. Apalagi dengan istri, anak-anak, dan cucu. Irak belum sepenuhnya aman. Ledakan-ledakan bom mobil masih sering terjadi. Sampai-sampai mereka menyebut istri saya sebagai wanita asing pertama yang berani berkunjung ke Irak.
“Mestinya istri Anda dapat sertifikat,” guraunya.
Saya merasa beruntung ziarah ke Najaf dan Karbala. Saya bisa melihat kondisi Irak tidak hanya di ibukotanya. Kalau melihat Baghdad saja, hampir-hampir putus harapan: gersang, panas, kering, dan berdebu.
Tidak terlihat geliat ekonomi baru sama sekali. Tidak banyak bangunan bekas perang yang sudah direnovasi. Jalan-jalan penuh dengan barikade militer. Kendaraan harus sering berhenti melewati pos bersenjata.
Melewati jalan raya pun seperti memasuki terowongan: kanan kiri jalan dipagar dengan beton-beton knock-down setinggi tiga meter.
Tapi begitu keluar dari Baghdad, ke arah selatan menuju Najaf, kesan saya tentang Irak berubah. Ekonomi terasa mulai menggeliat di jalur ini. Hampir sepanjang jalan saya melihat pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, dan pembuatan fly-over.
Di beberapa lokasi, seperti di propinsi Babilon (di sinilah pusat kekaisaran Babilonia kuno), terlihat pembangunan perumahan rakyat. Bentuknya apartemen empat lantai yang terdiri dari ratusan blok.
“Sebetulnya rakyat kurang senang apartemen. Tapi zaman modern harus diikuti,” ujar teman saya yang orang Irak. “Kami sebenarnya senang dengan rumah biasa berlantai dua. Pada musim tertentu kami terbiasa tidur di atas atap. Bisa terasa seperti tidur di padang pasir,” tambahnya.
Kami tidak berhenti di Babilon meski di situ ada makam Nabi Ayub. Kami langsung ke Najaf: ke makam Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dialah sahabat utama Nabi Muhammad SAW yang menjadi khalifah ke-4 di zaman khulafaur-rasyidin. Dialah tokoh sentral golongan Syiah.
Luar biasa banyaknya pengunjung ke makan Sayidina Ali yang juga menantu Nabi Muhammad ini. Banyak sekali peziarah yang sangat emosional: meratap, mengusap, dan menciumi pintu makam yang letaknya di dalam masjid Imam Ali ini.
Setelah ziarah, kami salat dua rakaat di dekat makam itu. Tentu kami segera diketahui bukan orang Syiah lantaran kami salat tidak menggunakan thurob.
Thurob adalah tanah kering yang berbentuk bundar seperti kue mari. Thurob harus diletakkan di lantai, tepat di lokasi kening kita saat bersujud.
Semua orang Syiah mengantongi thurob di sakunya. Ke mana pun mereka pergi dan di mana pun mereka salat, sujudnya harus di thurob itu.
Waktu pejabat tinggi Iran datang ke Jakarta beberapa bulan lalu dan saya bertugas menjemputnya di bandara, saya juga melihat itu. Waktu itu sang pejabat minta salat di bandara. Saya jadi makmumnya. Saya lihat beliau merogoh saku dan meletakkan thurob di tempat sujud.
Waktu saya ke Iran tahun lalu, saya juga membeli thurob di sana. Namun ke Najaf kali ini saya membeli thurob lagi karena yang dari Iran dulu diminta orang.
Masjid Imam Ali indahnya luar biasa. Interiornya gemerlapan karena campuran kristal dan potongan-potongan cermin yang dibentuk dengan indahnya. Dulunya masjid ini sangat kecil. Tidak lama setelah Saddam Hussein terguling diperluas menjadi dua kali lipatnya.
Yang juga menarik, begitu banyak keranda yang dibawa masuk ke dalam masjid ini. Hanya untuk dilewatkan dekat makam Imam Ali. Hampir tiap 10 menit ada keranda yang lewat di makam itu. Tentu, maksudnya, agar mendapat syafaat Imam Ali.
Begitu banyak yang meninggal?
Ternyata mayat itu tidak hanya dari Najaf. Mayat itu datang dari seantero negeri. Semua orang Syiah, di mana pun meninggal, mayatnya dibawa ke makam yang letaknya di sebelah masjid Imam Ali.
Tentu makam ini sangat-sangat luasnya. Garis tengahnya 7 km! Pasti, inilah makam terbesar di dunia! “Ayah saya meninggal di Baghdad. Juga dimakamkan di sini,” ujar teman saya itu.
Dengan dimakamkan di situ, bukan saja bisa bersebelahan dengan makam Imam Ali (yang dipercaya juga sekaligus makamnya Nabi Adam dan Nabi Nuh), juga membuat kunjungan lebih praktis. Ziarah ke makam Imam Ali sekalian ke keluarga masing-masing.
Bagi warga Syiah, sekali datang ke Najaf juga harus ke Karbala. Jarak dua kota ini 70 km. Ini mirip dengan orang yang ke Makkah sebaiknya ke Madinah. Bedanya perjalanan ziarah Najaf-Karbala ini sangat demostratif, atraktif, dan emosional.
Di Karbala itulah anak Imam Ali, Sayidina Hussein, dimakamkan.
Setiap bulan Asyura, jutaan orang Syiah melakukan perjalanan suci dari Najaf ke Karbala. Mereka jalan kaki sambil merintih, menangis dan memukul-mukul dada. Mereka mengenang penderitaan Sayidina Hussein dan solider atas penderitaan itu.
Menyusuri jalan dua arah yang sangat mulus ini saya membayangkan betapa padatnya sepanjang jalan itu di bulan Asyura. “Kami biasanya menempuh jarak Najaf-Karbala tiga hari,” ujar teman saya itu.
“Anda lihat. Di sepanjang jalan ini banyak dibangun toilet umum dan rumah singgah. Kami bisa bermalam di sepanjang jalan ini,” tambahnya.
Kisah penderitaan Hussein di Karbala tentu tidak bisa hilang dari ingatan saya. Pelajaran tarikh (sejarah) Islam sewaktu di madrasah tsanawiyah, khususnya bab Karbala, sangat hidup di benak saya. Apalagi guru tarikh saya sangat pandai bercerita.
Bagaimana Hussein dan rombongannya dikhianati, disiksa, dan akhirnya dibunuh dengan kejamnya, diceritakan seperti dalang menceritakan babak perang Baratayudha.
Bagaimana kepala Sayidina Hussein yang setelah dipenggal kemudian ditendang-tendang ke sana kemari, menimbulkan imajinasi seperti permainan sepakbola dan kepala Hussein sebagai bolanya.
Ketika dewasa, saya menemukan dua buku yang bercerita sangat baik mengenai tragedi berdarah dalam sejarah Islam ini. O Hassem menulis dengan judul “Karbala” yang penuturannya penuh dengan gaya jurnalistik.
Rupanya ketika Hussein dan rombongan meninggalkan Makkah berjalan kaki berminggu-minggu menuju Khurasan (sekarang berada di wilayah Iran) ada seorang pencatat yang mengikutinya. Pencatat itu meskipun menguntit dalam jarak yang tidak dekat tapi masih bisa melihat dengan jelas tragedi apa saja yang menimpa Huseein dan rombongan sepanjang perjalanan itu.
Catatan “jurnalistik” itulah yang jadi sumber penulisan O Hassem. Baru belakangan saya tahu bahwa O Hassem yang meninggal di Jakarta tahun 1990-an, adalah seorang penganut Syiah di Indonesia.
Begitu detil catatan itu sampai-sampai ketika di suatu tempat Hussein harus lari dari cegatan musuhnya, digambarkan bagaimana Hussein ketinggalan salah satu sandalnya.
Buku satunya lagi adalah sebuah novel berjudul “Jalan Menuju Khurasan”. Saya lupa siapa penulisnya, tapi rupanya ini novel terjemahan.
Ketika berada di makam Sayidina Hussein, saya merenungkan mengapa bisa terjadi tragedi seperti itu. Juga tragedi-tragedi berdarah lainnya. Sejak zaman Khulafaur-rasyidin hingga zaman setelah Abbasyiah.
Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir, justru ketika ummat Islam menganut faham pemerintahan kekhalifahan.
Permenungan saya terhenti karena tiba-tiba ada suara riuh-rendah. Saya lihat ada atraksi yang menakjubkan di dalam masjid itu. Sekitar 50 orang berdiri membuat lingkaran. Mereka mengayun-ayunkan badan, mengalunkan puji-pujian, sambil menunjukkan gerakan memukul dada seperti penari saman dari Aceh.
“Mereka itu penziarah dari Iran,” ujar teman saya. “Mereka menggunakan bahasa Parsi,” tambahnya.
Sejak Saddam Hussein yang Sunni tergusur oleh tentara Amerika Serikat, pemerintahan Irak memang dikuasai oleh golongan Syiah. Maka kawasan padat Syiah seperti Najaf dan Karbala bangkit luar biasa.
“Dulu tidak ada perhatian Saddam ke wilayah ini,” kata teman saya itu.
Sore itu saya kembali ke Baghdad. Puluhan barikade pemeriksaan bersenjata kembali harus kami lewati. Sore itu, hari terakhir bulan puasa. Kami ingin berbuka puasa di Baghdad, di sebuah restoran terbuka di pinggir sungai Tigris yang legendaris.
Buka puasa terenak tahun ini.
Hari itu saya salat Ied di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani. Letaknya di tengah kota Baghdad. Tidak sampai 15 menit naik mobil dari hotel Isthar (dahulu Hotel Sheraton), tempat saya menginap. Hotel ini terletak di samping taman yang patung Saddam Husseinnya dirobohkan itu.
Nama Syekh Abdul Qadir Jailani sangat terkenal di Indonesia. Dialah tokoh utama tarikat/tasawuf Naqsyabandiyah, khususnya aliran Qadiriyah. Sejak saya kecil, nama ini sudah saya hafal. Doa-doa yang diucapkan ayah saya, selalu menyebut nama itu di bagian akhirnya.
Ke sinilah memang, ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani ini, tujuan utama saya pergi ke Baghdad. Selama dua hari di Baghdad, tiga kali saya ke makam tokoh tasawuf ini.
Tentu saya juga ziarah ke makam Abu Hanifah. Meski di Indonesia umumnya menganut mazhab Syafi’i, tidak ada salahnya ziarah ke makam pendiri mazhab Hanafi ini. Toh letaknya juga di dalam kota Baghdad yang terpisah hanya sekitar 5 km.
Dua makam ini sama-sama terletak di dalam masjid. Seperti makam Nabi Muhammad yang terletak di dalam masjid Nabawi. Pengunjung tidak henti-hentinya ziarah.
Di masjid Syekh Abdul Qadir Jailani, usai salat Ied, sebuah bendera hitam dengan tulisan Arab berwarna kuning emas, diusung ke depan masjid. Ternyata itulah bendera “kebangsaan” tarikat Naqsyabandiyah. Orang pun berebut menciuminya.
Pimpinan masjid ini, yang juga Mursyid (pimpinan) Tarikat Naqsyabandiyah Qadiriyah, adalah keturunan ke-17 Syekh Abdul Qadir Jailani. Masih muda, sekitar 35 tahun. Pagi itu, kami dijamu makan pagi khas Arab. Tentu diselingi diskusi mengenai tarikat Naqsyabandiyah.
Dia juga banyak bertanya mengenai pengikut tarikat ini di Indonesia. “Saya ingin ke Indonesia menemui mereka. Waktu ke Malaysia tahun lalu saya ingin mampir ke Indonesia tapi ada masalah visa,” katanya.
“Keluarga kami sering ke Malaysia. Ayah kami meninggal di Malaysia tahun lalu,” tambahnya.
Orang-orang Irak memang sangat mudah datang ke Malaysia. Tapi masih sulit untuk mendapatkan visa ke Indonesia. Akibatnya hubungan dagang Indonesia-Irak ketinggalan jauh dari Malaysia. Perdagangan Indonesia-Irak baru USD 100 juta. Sedang Irak-Malaysia sudah mencapai hampir USD 1 miliar. Padahal Malaysia belum membuka kedutaan di Iraq.
Ekonomi Menggeliat
Kami juga ziarah ke pusat aliran Syiah: Najaf dan Karbala. Najaf terletak sekitar 300 km di luar kota Baghdad. Atau 4 jam perjalanan dengan mobil.
Sebenarnya banyak yang mengingatkan agar saya tidak ke sana. Apalagi dengan istri, anak-anak, dan cucu. Irak belum sepenuhnya aman. Ledakan-ledakan bom mobil masih sering terjadi. Sampai-sampai mereka menyebut istri saya sebagai wanita asing pertama yang berani berkunjung ke Irak.
“Mestinya istri Anda dapat sertifikat,” guraunya.
Saya merasa beruntung ziarah ke Najaf dan Karbala. Saya bisa melihat kondisi Irak tidak hanya di ibukotanya. Kalau melihat Baghdad saja, hampir-hampir putus harapan: gersang, panas, kering, dan berdebu.
Tidak terlihat geliat ekonomi baru sama sekali. Tidak banyak bangunan bekas perang yang sudah direnovasi. Jalan-jalan penuh dengan barikade militer. Kendaraan harus sering berhenti melewati pos bersenjata.
Melewati jalan raya pun seperti memasuki terowongan: kanan kiri jalan dipagar dengan beton-beton knock-down setinggi tiga meter.
Tapi begitu keluar dari Baghdad, ke arah selatan menuju Najaf, kesan saya tentang Irak berubah. Ekonomi terasa mulai menggeliat di jalur ini. Hampir sepanjang jalan saya melihat pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, dan pembuatan fly-over.
Di beberapa lokasi, seperti di propinsi Babilon (di sinilah pusat kekaisaran Babilonia kuno), terlihat pembangunan perumahan rakyat. Bentuknya apartemen empat lantai yang terdiri dari ratusan blok.
“Sebetulnya rakyat kurang senang apartemen. Tapi zaman modern harus diikuti,” ujar teman saya yang orang Irak. “Kami sebenarnya senang dengan rumah biasa berlantai dua. Pada musim tertentu kami terbiasa tidur di atas atap. Bisa terasa seperti tidur di padang pasir,” tambahnya.
Kami tidak berhenti di Babilon meski di situ ada makam Nabi Ayub. Kami langsung ke Najaf: ke makam Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dialah sahabat utama Nabi Muhammad SAW yang menjadi khalifah ke-4 di zaman khulafaur-rasyidin. Dialah tokoh sentral golongan Syiah.
Luar biasa banyaknya pengunjung ke makan Sayidina Ali yang juga menantu Nabi Muhammad ini. Banyak sekali peziarah yang sangat emosional: meratap, mengusap, dan menciumi pintu makam yang letaknya di dalam masjid Imam Ali ini.
Setelah ziarah, kami salat dua rakaat di dekat makam itu. Tentu kami segera diketahui bukan orang Syiah lantaran kami salat tidak menggunakan thurob.
Thurob adalah tanah kering yang berbentuk bundar seperti kue mari. Thurob harus diletakkan di lantai, tepat di lokasi kening kita saat bersujud.
Semua orang Syiah mengantongi thurob di sakunya. Ke mana pun mereka pergi dan di mana pun mereka salat, sujudnya harus di thurob itu.
Waktu pejabat tinggi Iran datang ke Jakarta beberapa bulan lalu dan saya bertugas menjemputnya di bandara, saya juga melihat itu. Waktu itu sang pejabat minta salat di bandara. Saya jadi makmumnya. Saya lihat beliau merogoh saku dan meletakkan thurob di tempat sujud.
Waktu saya ke Iran tahun lalu, saya juga membeli thurob di sana. Namun ke Najaf kali ini saya membeli thurob lagi karena yang dari Iran dulu diminta orang.
Masjid Imam Ali indahnya luar biasa. Interiornya gemerlapan karena campuran kristal dan potongan-potongan cermin yang dibentuk dengan indahnya. Dulunya masjid ini sangat kecil. Tidak lama setelah Saddam Hussein terguling diperluas menjadi dua kali lipatnya.
Yang juga menarik, begitu banyak keranda yang dibawa masuk ke dalam masjid ini. Hanya untuk dilewatkan dekat makam Imam Ali. Hampir tiap 10 menit ada keranda yang lewat di makam itu. Tentu, maksudnya, agar mendapat syafaat Imam Ali.
Begitu banyak yang meninggal?
Ternyata mayat itu tidak hanya dari Najaf. Mayat itu datang dari seantero negeri. Semua orang Syiah, di mana pun meninggal, mayatnya dibawa ke makam yang letaknya di sebelah masjid Imam Ali.
Tentu makam ini sangat-sangat luasnya. Garis tengahnya 7 km! Pasti, inilah makam terbesar di dunia! “Ayah saya meninggal di Baghdad. Juga dimakamkan di sini,” ujar teman saya itu.
Dengan dimakamkan di situ, bukan saja bisa bersebelahan dengan makam Imam Ali (yang dipercaya juga sekaligus makamnya Nabi Adam dan Nabi Nuh), juga membuat kunjungan lebih praktis. Ziarah ke makam Imam Ali sekalian ke keluarga masing-masing.
Bagi warga Syiah, sekali datang ke Najaf juga harus ke Karbala. Jarak dua kota ini 70 km. Ini mirip dengan orang yang ke Makkah sebaiknya ke Madinah. Bedanya perjalanan ziarah Najaf-Karbala ini sangat demostratif, atraktif, dan emosional.
Di Karbala itulah anak Imam Ali, Sayidina Hussein, dimakamkan.
Setiap bulan Asyura, jutaan orang Syiah melakukan perjalanan suci dari Najaf ke Karbala. Mereka jalan kaki sambil merintih, menangis dan memukul-mukul dada. Mereka mengenang penderitaan Sayidina Hussein dan solider atas penderitaan itu.
Menyusuri jalan dua arah yang sangat mulus ini saya membayangkan betapa padatnya sepanjang jalan itu di bulan Asyura. “Kami biasanya menempuh jarak Najaf-Karbala tiga hari,” ujar teman saya itu.
“Anda lihat. Di sepanjang jalan ini banyak dibangun toilet umum dan rumah singgah. Kami bisa bermalam di sepanjang jalan ini,” tambahnya.
Kisah penderitaan Hussein di Karbala tentu tidak bisa hilang dari ingatan saya. Pelajaran tarikh (sejarah) Islam sewaktu di madrasah tsanawiyah, khususnya bab Karbala, sangat hidup di benak saya. Apalagi guru tarikh saya sangat pandai bercerita.
Bagaimana Hussein dan rombongannya dikhianati, disiksa, dan akhirnya dibunuh dengan kejamnya, diceritakan seperti dalang menceritakan babak perang Baratayudha.
Bagaimana kepala Sayidina Hussein yang setelah dipenggal kemudian ditendang-tendang ke sana kemari, menimbulkan imajinasi seperti permainan sepakbola dan kepala Hussein sebagai bolanya.
Ketika dewasa, saya menemukan dua buku yang bercerita sangat baik mengenai tragedi berdarah dalam sejarah Islam ini. O Hassem menulis dengan judul “Karbala” yang penuturannya penuh dengan gaya jurnalistik.
Rupanya ketika Hussein dan rombongan meninggalkan Makkah berjalan kaki berminggu-minggu menuju Khurasan (sekarang berada di wilayah Iran) ada seorang pencatat yang mengikutinya. Pencatat itu meskipun menguntit dalam jarak yang tidak dekat tapi masih bisa melihat dengan jelas tragedi apa saja yang menimpa Huseein dan rombongan sepanjang perjalanan itu.
Catatan “jurnalistik” itulah yang jadi sumber penulisan O Hassem. Baru belakangan saya tahu bahwa O Hassem yang meninggal di Jakarta tahun 1990-an, adalah seorang penganut Syiah di Indonesia.
Begitu detil catatan itu sampai-sampai ketika di suatu tempat Hussein harus lari dari cegatan musuhnya, digambarkan bagaimana Hussein ketinggalan salah satu sandalnya.
Buku satunya lagi adalah sebuah novel berjudul “Jalan Menuju Khurasan”. Saya lupa siapa penulisnya, tapi rupanya ini novel terjemahan.
Ketika berada di makam Sayidina Hussein, saya merenungkan mengapa bisa terjadi tragedi seperti itu. Juga tragedi-tragedi berdarah lainnya. Sejak zaman Khulafaur-rasyidin hingga zaman setelah Abbasyiah.
Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir, justru ketika ummat Islam menganut faham pemerintahan kekhalifahan.
Permenungan saya terhenti karena tiba-tiba ada suara riuh-rendah. Saya lihat ada atraksi yang menakjubkan di dalam masjid itu. Sekitar 50 orang berdiri membuat lingkaran. Mereka mengayun-ayunkan badan, mengalunkan puji-pujian, sambil menunjukkan gerakan memukul dada seperti penari saman dari Aceh.
“Mereka itu penziarah dari Iran,” ujar teman saya. “Mereka menggunakan bahasa Parsi,” tambahnya.
Sejak Saddam Hussein yang Sunni tergusur oleh tentara Amerika Serikat, pemerintahan Irak memang dikuasai oleh golongan Syiah. Maka kawasan padat Syiah seperti Najaf dan Karbala bangkit luar biasa.
“Dulu tidak ada perhatian Saddam ke wilayah ini,” kata teman saya itu.
Sore itu saya kembali ke Baghdad. Puluhan barikade pemeriksaan bersenjata kembali harus kami lewati. Sore itu, hari terakhir bulan puasa. Kami ingin berbuka puasa di Baghdad, di sebuah restoran terbuka di pinggir sungai Tigris yang legendaris.
Buka puasa terenak tahun ini.
KULLU YAUMIN ASYURA WA
ReplyDeleteKULLU ARDIN KARBALA
SETIAP HARI ADALAH ASYURA DAN
SETIAP TANAH ADALAH KARBALA