Bulan Puasa nanti saya ingin mengundang lembaga-lembaga masyarakat yang selama ini menangani penyaluran dana untuk pengusaha kecil dan mikro.
BUMN ingin mencari partner yang andal untuk menangani Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Lembaga itu haruslah bereputasi tinggi, punya pengalaman panjang, teruji, dan benar-benar telah dirasakan manfaatnya oleh pengusaha kecil dan mikro.
Lembaga itu juga harus punya kapasitas, sistem dan manajemen yang memadai untuk membina pengusaha kecil dan mikro dalam jumlah besar.
BUMN seperti PLN, Pertamina, PGN, PTPN, Garuda, Telkom, Semen Gresik, dan seterusnya adalah perusahaan yang tidak disiapkan untuk membina pengusaha kecil dan mikro.
BUMN tersebut tidak punya keahlian, kapasitas dan manajemen untuk itu.
PLN atau Semen Gresik, misalnya, adalah perusahaan yang sarat teknologi yang perhatian manajemennya harus tercurah habis untuk kemajuan di bidangnya.
Bahkan PLN mesti ditambah tugas pelayanan yang harus prima. Tugas PLN adalah mengatasi byar-pet, mencari jalan agar kerusakan travo dan jaringan jangan lagi jadi alasan mati lampu, dan bagaimana melakukan pemeliharaan tanpa pemadaman.
Sama sekali manajemen PLN tidak disiapkan untuk membina pengusaha kecil dan mikro yang begitu rumit, apalagi massal.
Tapi BUMN-BUMN tersebut berkewajiban menyalurkan sebagian labanya untuk membina pengusaha kecil dan mikro. Nilainya juga sangat besar. Kalau ditotal, seluruh BUMN bisa mencapai triliunan juga.
Akibatnya perhatian manajemennya terbagi. Bahkan bisa-bisa terjerat keruwetan pertanggungjawaban keuangan yang njelimet.
Saya tidak rela kalau manajemen masing-masing BUMN gagal menjalankan tugas utamanya karena tersedot perhatiannya ke masalah ruwet di luar tugas utamanya.
Bagi lembaga-lembaga yang sudah sangat profesional membina pengusaha kecil dan mikro pekerjaan tersebut bisa jadi tidak berat. SDM-nya memang disiapkan untuk itu.
Sistem dan manajemennya sangat spesialis. Mungkin mereka ini juga pusing kalau harus memikirkan listrik karena memang tidak disiapkan untuk itu.
Mungkin bekerjasama dengan lembaga yang sudah teruji dan terpercaya akan lebih tepat untuk menyelesaikan tugas BUMN dalam membina usaha kecil dan mikro.
Saya tahu ada Komunitas Tangan di Atas, ada Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Ustadz Syafii Antonio, ESQ, dan sebangsanya.
Di Jateng juga ada lembaga seperti Qoryah Thoyyibah. Saya yakin masih banyak lembaga lain yang saya belum mengetahuinya.
Ustadz Syafii Antonio, misalnya, sudah berpengalaman menyalurkan kredit untuk pengusaha kecil dan mikro untuk lebih sejuta orang.
Dengan pengalaman, sistem, dan pengendalian kontrol yang profesional pastilah lebih mampu dibandingkan dengan manajemen BUMN yang memang tidak disiapkan untuk itu.
Begitu banyak usaha kecil yang bisa berperan besar untuk mengembangkan perekonomian rakyat bawah. Jenis usahanya pun tidak terbatas.
Minggu sore kemarin misalnya, (17/6/2012), saya melihat pengembangan ternak kelinci di Cimahi, Jabar.
Begitu mudah dan sederhana peternakan kelinci ini. Pasar daging kelinci pun hampir tak terbatas. Tapi kita, secara nasional, baru bisa memproduksi daging kelinci 100 kg per hari. Keperluannya ribuan ton!
Pasar Eropa juga terbuka karena daging kelinci praktis tidak mengandung kolesterol dan memiliki kadar serat yang baik untuk pencernaan.
Kandangnya pun sederhana. Ada kandang bambu untuk kelinci jantan. Petugas tinggal memasukkan kelinci betina ke situ dan menunggunya sebentar untuk menyaksikan perkawinan mereka. Dalam waktu kurang sepuluh menit kelinci itu sudah kawin dua kali. Cukup. Si betina dikembalikan ke kandangnya sendiri.
Dua bulan setelah perkawinan itu, si betina melahirkan. Sekali melahirkan bisa 12 ekor. Paling sedikit 6 ekor. Si anak dibiarkan selama dua bulan berkumpul dengan ibunya untuk mendapatkan pertumbuhan maksimal dari ASI sang ibu.
Bulan ketiga si anak dipisahkan karena si ibu sudah hamil tua lagi. Bulan keempat, saat sang ibu sudah melahirkan lagi, si anak sudah memiliki berat 4 kg dan sudah bisa disembelih. Begitulah, dalam setahun si ibu bisa melahirkan 6 kali dengan anak yang begitu banyak.
Dalam hal bina lingkungan yang juga menjadi salah satu tugas BUMN kelihatannya belum perlu kerjasama dengan lembaga lain. Beberapa BUMN telah membentuk satu badan usaha khusus menangani lingkungan. Namanya PT Hijau Lestari.
Tugas utamanya sekarang adalah menyelamatkan DAS Citarum yang rusak parah.
Sebelum melihat kelinci kawin saya naik bukit di lereng Gunung Tilu. Di situlah, di ketinggian 1.800 meter, saya bertemu para petani yang mengikuti program penyelamatan DAS Citarum itu.
Kesulitan utama menyelamatkan DAS Citarum adalah karena tanah-tanah di gunung tersebut adalah milik rakyat. Bukan hutan negara. Hak rakyat sepenuhnya untuk menanam apa saja atau tidak menanam apa saja. Tugas BUMN adalah “merayu” rakyat untuk mau menanam pohon besar dengan pendekatan korporasi.
Rakyat tentu tidak mau menanam pohon-pohon besar seperti pohon petai, durian, nangka, dan sebagainya karena baru akan memperoleh hasil 6 tahun kemudian.
Rakyat perlu makan hari itu juga. Akibatnya lahan di sana sepenuhnya untuk sayur dan holtikultura. Tidak ada lagi yang bisa menahan menahan erosi.
Dari temuwicara dengan rakyat di lereng Gunung Tilu kemarin, saya optimis usaha “merayu” rakyat itu berhasil.
Mereka mau menanam pohon besar asal bibit disediakan dan tetap boleh menanam holtikultura di sela-selanya. Tentu pohon besarnya jangan terlalu rapat.
Saat ini ada sekitar 30 anak muda yang memilih tinggal di lereng Gunung Tilu untuk membina petani.
Beda dengan proyek penghijauan biasa, di sini BUMN menjaga pohon yang baru ditanam itu selama tiga tahun. Tidak ditanam lalu ditinggal begitu saja.
Tugas itu kini di tangan 30 pemuda tersebut. Ada alumni tehnik mesin ITB, ada alumni UIN jurusan filsafat. Dan tentu ada alumni IPB yang kini bangga dengan temuan baru mereka: bisa melakukan apa saja, apalagi bidang pertanian -sebagai pengganti ejeken lama: bisa melakukan apa saja kecuali bidang pertanian.(*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
BUMN ingin mencari partner yang andal untuk menangani Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Lembaga itu haruslah bereputasi tinggi, punya pengalaman panjang, teruji, dan benar-benar telah dirasakan manfaatnya oleh pengusaha kecil dan mikro.
Lembaga itu juga harus punya kapasitas, sistem dan manajemen yang memadai untuk membina pengusaha kecil dan mikro dalam jumlah besar.
BUMN seperti PLN, Pertamina, PGN, PTPN, Garuda, Telkom, Semen Gresik, dan seterusnya adalah perusahaan yang tidak disiapkan untuk membina pengusaha kecil dan mikro.
BUMN tersebut tidak punya keahlian, kapasitas dan manajemen untuk itu.
PLN atau Semen Gresik, misalnya, adalah perusahaan yang sarat teknologi yang perhatian manajemennya harus tercurah habis untuk kemajuan di bidangnya.
Bahkan PLN mesti ditambah tugas pelayanan yang harus prima. Tugas PLN adalah mengatasi byar-pet, mencari jalan agar kerusakan travo dan jaringan jangan lagi jadi alasan mati lampu, dan bagaimana melakukan pemeliharaan tanpa pemadaman.
Sama sekali manajemen PLN tidak disiapkan untuk membina pengusaha kecil dan mikro yang begitu rumit, apalagi massal.
Tapi BUMN-BUMN tersebut berkewajiban menyalurkan sebagian labanya untuk membina pengusaha kecil dan mikro. Nilainya juga sangat besar. Kalau ditotal, seluruh BUMN bisa mencapai triliunan juga.
Akibatnya perhatian manajemennya terbagi. Bahkan bisa-bisa terjerat keruwetan pertanggungjawaban keuangan yang njelimet.
Saya tidak rela kalau manajemen masing-masing BUMN gagal menjalankan tugas utamanya karena tersedot perhatiannya ke masalah ruwet di luar tugas utamanya.
Bagi lembaga-lembaga yang sudah sangat profesional membina pengusaha kecil dan mikro pekerjaan tersebut bisa jadi tidak berat. SDM-nya memang disiapkan untuk itu.
Sistem dan manajemennya sangat spesialis. Mungkin mereka ini juga pusing kalau harus memikirkan listrik karena memang tidak disiapkan untuk itu.
Mungkin bekerjasama dengan lembaga yang sudah teruji dan terpercaya akan lebih tepat untuk menyelesaikan tugas BUMN dalam membina usaha kecil dan mikro.
Saya tahu ada Komunitas Tangan di Atas, ada Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Ustadz Syafii Antonio, ESQ, dan sebangsanya.
Di Jateng juga ada lembaga seperti Qoryah Thoyyibah. Saya yakin masih banyak lembaga lain yang saya belum mengetahuinya.
Ustadz Syafii Antonio, misalnya, sudah berpengalaman menyalurkan kredit untuk pengusaha kecil dan mikro untuk lebih sejuta orang.
Dengan pengalaman, sistem, dan pengendalian kontrol yang profesional pastilah lebih mampu dibandingkan dengan manajemen BUMN yang memang tidak disiapkan untuk itu.
Begitu banyak usaha kecil yang bisa berperan besar untuk mengembangkan perekonomian rakyat bawah. Jenis usahanya pun tidak terbatas.
Minggu sore kemarin misalnya, (17/6/2012), saya melihat pengembangan ternak kelinci di Cimahi, Jabar.
Begitu mudah dan sederhana peternakan kelinci ini. Pasar daging kelinci pun hampir tak terbatas. Tapi kita, secara nasional, baru bisa memproduksi daging kelinci 100 kg per hari. Keperluannya ribuan ton!
Pasar Eropa juga terbuka karena daging kelinci praktis tidak mengandung kolesterol dan memiliki kadar serat yang baik untuk pencernaan.
Kandangnya pun sederhana. Ada kandang bambu untuk kelinci jantan. Petugas tinggal memasukkan kelinci betina ke situ dan menunggunya sebentar untuk menyaksikan perkawinan mereka. Dalam waktu kurang sepuluh menit kelinci itu sudah kawin dua kali. Cukup. Si betina dikembalikan ke kandangnya sendiri.
Dua bulan setelah perkawinan itu, si betina melahirkan. Sekali melahirkan bisa 12 ekor. Paling sedikit 6 ekor. Si anak dibiarkan selama dua bulan berkumpul dengan ibunya untuk mendapatkan pertumbuhan maksimal dari ASI sang ibu.
Bulan ketiga si anak dipisahkan karena si ibu sudah hamil tua lagi. Bulan keempat, saat sang ibu sudah melahirkan lagi, si anak sudah memiliki berat 4 kg dan sudah bisa disembelih. Begitulah, dalam setahun si ibu bisa melahirkan 6 kali dengan anak yang begitu banyak.
Dalam hal bina lingkungan yang juga menjadi salah satu tugas BUMN kelihatannya belum perlu kerjasama dengan lembaga lain. Beberapa BUMN telah membentuk satu badan usaha khusus menangani lingkungan. Namanya PT Hijau Lestari.
Tugas utamanya sekarang adalah menyelamatkan DAS Citarum yang rusak parah.
Sebelum melihat kelinci kawin saya naik bukit di lereng Gunung Tilu. Di situlah, di ketinggian 1.800 meter, saya bertemu para petani yang mengikuti program penyelamatan DAS Citarum itu.
Kesulitan utama menyelamatkan DAS Citarum adalah karena tanah-tanah di gunung tersebut adalah milik rakyat. Bukan hutan negara. Hak rakyat sepenuhnya untuk menanam apa saja atau tidak menanam apa saja. Tugas BUMN adalah “merayu” rakyat untuk mau menanam pohon besar dengan pendekatan korporasi.
Rakyat tentu tidak mau menanam pohon-pohon besar seperti pohon petai, durian, nangka, dan sebagainya karena baru akan memperoleh hasil 6 tahun kemudian.
Rakyat perlu makan hari itu juga. Akibatnya lahan di sana sepenuhnya untuk sayur dan holtikultura. Tidak ada lagi yang bisa menahan menahan erosi.
Dari temuwicara dengan rakyat di lereng Gunung Tilu kemarin, saya optimis usaha “merayu” rakyat itu berhasil.
Mereka mau menanam pohon besar asal bibit disediakan dan tetap boleh menanam holtikultura di sela-selanya. Tentu pohon besarnya jangan terlalu rapat.
Saat ini ada sekitar 30 anak muda yang memilih tinggal di lereng Gunung Tilu untuk membina petani.
Beda dengan proyek penghijauan biasa, di sini BUMN menjaga pohon yang baru ditanam itu selama tiga tahun. Tidak ditanam lalu ditinggal begitu saja.
Tugas itu kini di tangan 30 pemuda tersebut. Ada alumni tehnik mesin ITB, ada alumni UIN jurusan filsafat. Dan tentu ada alumni IPB yang kini bangga dengan temuan baru mereka: bisa melakukan apa saja, apalagi bidang pertanian -sebagai pengganti ejeken lama: bisa melakukan apa saja kecuali bidang pertanian.(*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
No comments:
Post a Comment