Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa hari yang lalu, Komisi VII menuding kebijakan Dahlan-lah penyebab inefisiensi PLN. Dahlan mengganti bahan bakas gas dengan BBM untuk menghidupkan PLTU. Dahlan memberikan klarifikasi atas tuduhan ini. Selain diklarifikasi Dahlan, Menteri ESDM dan BP Migas juga membela Dahlan. Pilihan BBM adalah terpaksa dan satu-satunya karena tidak ada pasokan gas.
Kalau tidak maka di Jakarta akan terjadi pemadaman besar-besaran dan berbulan-bulan. Tidak pas menyalahkan PLN dalam hal ini, yang berwenang menentukan kuota gas untuk PLN adalan Kementerian ESDM. Tidak ada kuasa PLN sama sekali menentukan kuotanya sendiri. Kalau Kementerian ESDM dan BP Migas tidak memberi gas, PLN bisa apa? Itulah sebabnya kenapa rekomendasi BPK yang 18 itu hanya 1 untuk PLN. Karena BPK tau inefisiensi PLN bukan disebabkan oleh PLN sendiri.
Selanjutnya Komisi VII mempertanyakan ribuan jenset yang
disewa Dahlan. Dahlan menjawab jenset-jenset itu untuk daerah luar jawa yang
belum memiliki pembangkit listrik atau pembangkitnya sedang dikerjakan. Tidak
bisa hanya menunggu pembangunan pembangkit-pembangkit listrik selesai, terlalu
lama. Bisa 2 atau 3 tahun, bahkan kebanyakan lebih. Indonesia bukan Jawa saja,
daerah lain juga menuntut hak yang sama. Daerah luar Jawa berhak juga sesegera
mungkin mendapatkan listrik.
Untuk daerah luar Jawa Dahlan tidak hanya mengandalkan
jenset, untuk pulau-pulau kecil dibuat program pembangunan 1000 PLTS (Tenaga
surya). Percobaan sudah sukses dilakukan di pedalaman Sumba Barat Daya dan
pulau-pulau lainnya seperti Bunaken. Sekarang program 1000 PLTS ini sudah siap
dimasalkan. PLTA (Tenaga air) juga dibangun, malah Dahlan membuat PLTA terbesar
di Papua yaitu disungai Baliem. PLTP (Panas bumi) tidak ketinggalan
dikembangkan oleh Dahlan. PLTP Ulumbu di kabupaten Manggarai-NTT dapat
diselesaikan Dahlan dalam waktu satu tahun. Padahal proyek itu mangkarak sejak
tahun 1994.
Mengenai keterlibatan istri dan anak Dahlan dalam pengadaan
jenset, Dahlan menantang Komisi VII untuk mengundang istrinya ikut RDP. Biar
Komisi VII bertanya sendiri, karena istri Dahlan adalah murni 100% ibu rumah
tangga bukan pembisnis. Isna Fitriana anak bungsu Dahlan hanya berbisnis baju
yang mungkin ada gambar jensetnya kata Dahlan melucu. Anak yang satunya lagi Azrul
Ananda bekerja di Jawa Post, menjadi Dirut di sana. Jangankan bekerja sama
dengan PLN untuk pengadaan jenset, menyentuh lantai kantor PLN saja Azrul tidak
sudi. Sebelumnya Azrul tidak setuju Dahlan menjadi Dirut PLN. Karena Dahlan
nekat bekerja tanpa persetujuannya maka dia bersumpah tidak akan menginjakkan
kaki di kantor-kantor PLN selama bapaknya masih menjadi Dirut. Sumpah itu dapat
dipenuhi oleh Azrul. Yang lebih penting lagi bukan Dahlan yang mengurus
pengadaan jenset itu langsung tapi direktur PLN lainnya. Tuduhan ini
benar-benar tidak mendasar. Mendapat jawaban dan tantangan Dahlan seperti ini
Komisi VII mundur teratur tidak mempertajam pertanyaan seputar jenset itu lagi.
Gagal dengan dua amunisi di atas Komisi VII menyerang dengan
keterlambatan proyek pengadaan listrik 10 ribu megawatt tahap pertama. Nah kalu
masalah ini saya rasa masuk akal jika Komisi VII menyalahkan Dahlan. Karena
sesuai dengan rekomendasi BPK untuk PLN. Terlepas dari berbagai kendala yang
dihadapi PLN dalam menuntaskan proyek tersebut.
Tapi amunisi ketiga ini jadi tidak masuk akal tatkala yang
disalahkan hanya Dahlan semata. Dirut PLN sebelum Dahlan dan sesudah Dahlan
juga berada dalam tenggang waktu proyek tersebut. Kenapa tidak dipanggil juga,
kenapa hanya fokus ke Dahlan seorang?
Amunisi ini juga menjadi tidak masuk akal kalau Dahlan mau
dipidanakan seperti yang digembar-gemborkan Effendy Simbolon. Kalau sekedar
menyalahkan untuk jadi bahan koreksi mungkin ya dan memang seharusnya begitu
tugas DPR. Kalau Dahlan mau dipidanakan gara-gara keterlambatan proyek, itu
jelas mengada-ada. Tidak ada satupun pejabat di negera ini yang tidak akan
masuk penjara termasuk juga semua anggota DPR. Instansi mana sih di negara ini
yang tidak pernah terlambat mengerjakan proyek?
Salah satu contoh misalnya proyek konversi minyak tanah ke
gas. Berapa inefisiensi yang disebabkan oleh keterlambatan proyek ini? Sampai
sekarang banyak daerah yang belum terkonversi sesuai jadwal. Di NTB misalnya
pulau Sumbawa. Subsidi minyak tanah terus mengalir ke daerah ini entah berapa
miliar perbulan. Seharusnya subsidi itu tidak perlu ada kalau proyek konversi
minyak tanah dapat diselesaikan Kementerian ESDM dan Pertamina sesuai jadwal.
Atau proyek suasembada beras, daging, garam, kedelai dan
lain sebagainya. Proyek-proyek ini tidak pernah sesuai target. Berapa
inefisiensi yang ditimbulkannya? Devisa negara tergerus setiap tahun untuk
mengimpor komuditas tersebut.
DPR juga saya rasa dapat diperkarakan karena keterlambatan
menyelesaikan Undang-undang. Rata-rata DPR hanya mampu menyelesaikan 15 persen
pertahun. Tahun 2011 target Undang-undang yang dirampungkan 68 tapi selesai
hanya 16. Tahun 2011 target 94 tapi selesai hanya 24. Tahun 2012 sampai bulan
September hanya 11 yang diselesaikan dari 64 target. Ini jelas-jelas
inefisiensi. Bukankah tidak sedikit anggaran untuk DPR? Tahun 2012 anggaran
untuk DPR 2,94 triliun. Karena DPR hanya menyelesaikan 15 persen pekerjaannya
berarti telah terjadi inefisiensi pada tahun 2012 sebesar 85 persen dari dana
2,94 triliun itu.
Parahnya lagi, selain produktifitas rendah kualitas
Undang-undang yang dihasilkan DPR juga rendah. Buktinya banyak gugatan
masyarakat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Sudah dibiayai mahal-mahal
digugurkan MK lagi. Siapa yang menyanggah kalau ini bukan termasuk inefisiensi?
Alangkah efisiennya negara ini jika DPR dibubarkan. Selanjutnya yang berhak
membuat Undang-undang adalah pemerintah, tapi rakyat bisa menggugatnya lewat
MK.
Dari analisa data dan fakta di atas saya befikir silahkan
DPR memenjarakan Dahlan. Tapi sebagaimana pernyataan Dahlan yang siap dan
ikhlas masuk penjara kalau kebijakannya disalahkan, DPR juga harus menyatakan
siap dan ikhlas ikut masuk di sana kalau kinerjanya dipermasalahkan. Lebih per
lagi kalau semua pejabat yang terlambat menyelesaikan proyek dipenjarakan juga.
Selanjutnya harapan saya untuk Komisi VII hendaknya segera
meluruskan persepsi masyarakat yang terlanjur dibengkokkan. Secara hukum
inevisiensi tidak sama artinya dengan kerugian negara. Negara tidak pernah dirugikan
oleh PLN, bukankah memang kewajiban negara menyediakan infrastruktur? Dan
listrik itu termasuk kategori infrastruktur sebagaimana jalan, jembatan,
pelabuhan, bandara, dan lain-lain. Berapapun uang yang dihabiskan negara untuk
infrastruktur asal tidak ada penyimpangan tidak bisa dikatakan rugi? Walau uang
pembangunan itu tidak akan kembali untuk selama-lamanya.
Harapan yang kedua adalah, DPR jangan hanya melihat
inefisiensi PLN. Tapi lihat juga efisiensi-nya. Bukankah berkat kinerja Dahlan,
sekarang pembangkit listrik di pulau Jawa sudah 100% bebas BBM? Pemakaian BBM
untuk pembangkit listrik se-Indonesia juga sudah berhasil dia tekan hingga
tinggal 5%. Sisanya 51% menggunakan batu bara, 24% gas, 9% air, dan lain-lain.
Disaat darurat bolehlah PLN melakukan inefisiensi 37 triliun tapi tapi disaat
bersamaan PLN telah berhasil melakukan efisiensi ratusan triliun. Tidakkah DPR
memiliki akal sehat dan nurani untuk menghargai keberhasilan itu?
No comments:
Post a Comment