Thursday, July 25, 2013

Murid Bertemu Mursyid

SELEPAS peresmian Gedung Graha Pena Radar Pekalongan, Pak Dahlan langsung menuju kediaman Habib Lutfi bin Ali bin Yahya, tokoh ulama thariqot di Pekalongan. Rumahnya di Jl dr Wahidin, tepat di belakang Kanzus Shalawat (tempat pengajiannya).

Sudah sejak lama Pak Dahlan berniat untuk sowan ke Habib Lutfi. Dan malam itu terkabul sudah niatannya. Tiba di sana sudah disambut langsung oleh Habib Lutfi didampingi Kiai Zakaria dan beberapa orang di dalam yang belum saya kenal. Sementara rombongan Pak Dahlan diikuti oleh BUMN Jateng DIY, Dirut PTP IX Adi Prasongko, Dirut Kawasan Industri Wijayakusumah Djayadi dan GM Angkasa Pura Priyo Jatmiko. Sementara dari Grup Jawa Pos hadir Pak Suparno Wonokromo, Pak Yanto, Pak Sukron. Pak BRH dan Gus Amik mendampingi kemana pun Pak Dahlan pergi.



Pertemuan langsung diarahkan ke lantai atas sebelah timur. Habib Lutfi mengenakan busana santai putih-putih. Sementara Pak Dahlan duduk bersila di sebelah Habib Lutfi dan terlihat takzim, sedikit membungkukkan badan. Pak Dahlan juga pengikuti thoriqot Sathariyah di Pesantren Takeran Kab Magetan. Sekarang berubah nama menjadi Pesantren Sabilul Muttaqien. Namun sejak ayahnya dan tokoh-tokoh pesantren meninggal, tidak ada lagi guru thoriqot di sana.

“Saya ke sini seperti timba mencari sumur. Dan saya yakin saya akan menemukan sumur di sini,” tutur Pak Dahlan memulai pembicaraannya. “Pesantren kami kehilangan banyak tokoh, terutama Mursyid thoriqot Sathariyah. Otomatis kami kehilangan jejak dan tidak ada guru di sana. Apakah boleh memiliki mursyid lebih dari satu,” demikian pertanyaan Pak Dahlan.

Habib Lutfi dengan tenang memerangkan tentang hukum berthariqot. “Ada dua hukum thoriqot, sunnah dan wajib. Kalau yang sunah, berthariqot diniatkan untuk menambah pahala dengan menambah amalan-amalan yang sudah ditentukan. Namun ketika berthariqot niatnya untuk berzikir hanya kepada Allah dan menegasikan semua hal selain Allah, maka hukum thariqot menjadi wajib,” tutur Habib Lutfi.

Sementara pertanyaan apakah boleh memiliki mursyid lebih dari satu, analoginya adalah apakah boleh kita mengambil aliran listrik dari dua trafo? Habib Lutfi mengambil istilah PLN dalam menjawabnya. Kalau trafo tersebut dua-duanya memiliki tegangan yang sama, maka listrik yang dialirkan ke rumah kita akan mati karena tegangannya menjadi sangat tinggi alias tidak normal. Kalau memiliki dua mursyid langsung, sementara muryid itu masih hidup dua-duanya, maka hukumnya tidak boleh. Pilihkah satu mursyid saja yang jelas matannya (asal-usul historisnya).

Namun kalau memiliki mursyid ke-2 dengan tujuan melanjutkan keberlangsungan thoriqot yang ada karena mursyid pertama sudah meninggal maka hukumnya boleh asalkan mursyid kedua tersebut memiliki thoriqot yang sama. “Kalau mursyid yang meninggal Sathariyah, harus mencari mursyid Sathariyah lagi,” katanya. Habib Lutfi mengaku dia belajar thoriqot Sathariyah di Pesantren Benda Kerep Cirebon. Beberapa bulan ke belakang Pak Dahlan pun mengunjungi Pesantren yang sama di Cirebon.

Pembicaraan semakin hangat, Gus Amik dan BRH yang juga pengamal thoriqot semakin tertarik untuk mempertajam diskusi. Saya mengingatkan Pak Dahlan untuk makan malam dahulu, karena di beberapa titik kunjungan tidak sempat makan. Pak Dahlan mengambil bakso kambing dan makan lahap sekali. Ternyata bakso itu buatan istri Habib Lutfi. “Enak sekali baksonya,” tuturnya sambil minta tambah ke saya.

Selagi tamu-tamu makan malam, Habib Lutfi mendekat ke pianonya dan mulailah menyentuh tuts yang satu ke tuts yang lain dan muncullah irama musik yang syahdu. Dia sendiri yang menjadi vokalisnya, didampingi dua orang pengiring musik. Saya tidak hafal betul syair yang dilantunkan, tapi jelas isinya adalah nasihat-nasihat untuk anak-anak zaman sekarang agar selalu mendekatkan diri pada Yang Kuasa.

Pak Suparno yang juga dalang tidak tahan untuk tidak menggerakkan tubuh dan tangannya. Sepanjang Habib Lutfi memainkan piano dan menyanyi, pak Suparno sangat gembira. Yang baru berkunjung ke Habib Lutfi untuk pertama kali terheran-heran. “Kok Habib Lutfi bisa main musik ya?” tutur Pak Yanto. Belajar dimana? Pertanyaan yang satu ini tidak sempat terkonfirmasi kepada Habib Lutfi.

Dari musik ini, menurut Habib Lutfi, kita bisa belajar demokrasi. Coba saja, jumlah nada itu ada 12, hanya naik dan turun yang menjadikan nada itu berubah-ubah. Bisa naik setengah, juga bisa naik satu oktaf, dua oktaf atau sampai 7 oktaf. Dengan kreatifitas yang tinggi, setiap orang bisa menghasilkan karya yang luar biasa.

Namun di musik juga, lanjut Habib, tidak bisa egois. Masing-masing harus menghormati musik yang lain. Kapan saatnya piano dimainkan lebih dominan, kapan saatnya gitar dominan, drum dominan dan kapan saatnya semua bersuara kompak secara bersamaan. Dan alat musik yang satu dengan alat musik yang lain harus saling mendukung, menimpali, tidak main sendiri-sendiri. Dan harmoni itu sangat bergantung pada dirijen.

Di negara ini, kata Habib, mayarakat yang identik dengan musik, suaranya sangat banyak dan beragam. Bisa jadi bencana, tapi bisa juga menjadi potensi positif. Tergantung kepada dirigen negara ini. Kalau dirigennya terampil memainkan suara masyarakat yang beragam, maka keberagaman ini menjadi alat untuk memajukan negara.

Mendengar paparan Habib Lutfi yang gamblang, rasional, jelas dan argumentatif, Pak Dahlan terkagum-kagum. Sampai-sampai dia berkata, “Sekarang sumurnya sudah ditemukan. Saya tinggal menimba air sebanyak-banyaknya. Selama ini kita mencari-cari keterangan-keterangan tentang thoriqot dan penjelasannya, dan di sini kita menemukan jawabannya,” kata Pak Dahlan.

Tidak ada pembicaraan khusus untuk meminta ini dan itu. Juga tidak ada pembicaraan empat mata antara Pak Dahlan dengan Habib Lutfi. Semua pembicaraan disaksikan oleh banyak orang. Sementara orang di luaran mengira Pak Dahlan minta restu ke Habib Lutfi untuk ini dan itu. Saya yang mengikuti dari awal sampai akhir tidak menemukan pembicaraan privat atau kalimat-kalimat dari Pak Dahlan yang spesial. Semuanya tentang diskusi thoriqot dan keagamaan.

Malam semakin larut, Pak Dahlan pun terlihat kelelahan ingin istirahat. Saya menunjukkan kamarnya. Tapi karena utang pijat refleksi saya belum lunas, saya harus tidur satu kamar dengan Pak Dahlan. Jadilah tidur sekamar dengan Menteri BUMN. Awalnya Gus Amik dan Pak Arif ikut tiduran di bawah. Pak Dahlan sendiri sudah disediakan shofa, tapi dia memilih tidur di bawah menggunakan kasur lipat. Saya berpikir, apa Menteri yang lain mau tidur dengan kasur lipat di lantai ya?

Setelah terlihat rileks, saya menghentikan pijatan. Waktu sudah sangat larut malam, sekitar pukul 24.00. Besok masih ada rangkaian acara. kondisi badan yang capek mendorong saya merebahkan tubuh di atas karpet bersama dengan teman-teman yang lain. Saya hanya berdoa, agar besok tetap bisa bangun pagi dan tidak keduluan Pak Dahlan. Kalau keduluan kan bisa berabe. Masa sih protokol keduluan, bisa memalukan dunia ini.

Saya mencoba mengingat-ingat perjalanan sejak pagi, siang samai malam ini. Mungkin hanya sehari semalam, tapi kesan yang didapat sangat luar biasa. Banyak cerita dan pengalaman baru. Juga banyak belajar dari Pak Dahlan yang sangat bersahaja ini. Ah…. seandainya kenal lebih awal, bisa jadi semangat saya sudah membumbung dari dulu. Tak terasa saya terkapar di atas karpet dan tertidur pulas. (Ade Asep Syarifuddin)

2 comments: