Dahlan Iskan ketika mengikuti Ceramah subuh bersama santri di pesantren Ponpes Azzaeniyah, Sukabumi. |
Sudah tiga kali saya lebaran idul fitri di Tiongkok, tapi baru sekali ini merasakan salat tarawih di sana. Dua hari berturut-turut saya ke masjid Niu Jie, masjid terbesar di Beijing. Awal bulan puasa ini saya memang harus ke Tiongkok untuk cek kesehatan. Yakni tepat setelah tiga tahun saya menjalani transplantasi hati di Tianjin. Sudah sembilan bulan saya tidak cek kesehatan lantaran banyaknya urusan di PLN.
Setelah selesai cek kesehatan, saya memang ke Beijing untuk mengadakan pertemuan dengan berbagai perusahaan besar yang ada kaitannya dengan PLN. Sebagai Dirut PLN saya berkepentingan untuk mendesak mereka agar proyek-proyek 10.000 MW itu cepat selesai. Saat di Beijing inilah saya ingin berbuka puasa di masjid Niu Jie. Sudah beberapa kali saya ke masjid ini tapi baru kali ini tepat di bulan puasa. Saya memang ingin berbuka puasa dan salat tarawih di masjid ini.
Berbuka puasa di masjid Niu Jie dilakukan di halaman masjid. Sambil menunggu – berbuka, mereka ngobrol sambil berdiri di halaman. Saya bisa ngobrol lebih asyik karena salah satu pengurus masjid itu pensiunan PLN-nya Tiongkok. Dia ahli turbin. Dia juga banyak tahu soal politik karena termasuk pengurus partai komunis setempat.
Berbeda dengan di masjidil haram, Makkah, makanan kecil untuk ta’jil di sini diletakkan di atas meja. Bukan lesehan di tikar. Ada tiga meja tinggi di halaman itu. Di atas meja itu disajikan roti coklat dan sedikit kurma. Lalu ada teko berisi teh dan gelas-gelas plastik. Wanita tidak bergabung di sini. Isteri saya menyatu dengan jemaah wanita di masjid wanita di sebelah masjid yang bentuk dan arsitekturnya seperti kelenteng ini.
Begitu azan berkumandang, saya langsung mencicipi roti dan minum teh. Azan dilakukan di halaman dekat pintu depan masjid. Saya pikir inilah azan yang tepat, dilakukan di halaman. Bukan di dalam masjid. Rupanya semua jemaah sudah berwudu. Terbukti begitu azan selesai mereka bergegas masuk masjid.
Yang membuat saya tiba-tiba terperangah adalah ini: ketika jemaah mulai pelan-pelan masuk masjid muncullah dari arah bangunan lain, sembilan orang muda berpakaian putih-putih dengan surban berbuntut panjang menjuntai di punggung. Jalannya tegap dan cepat. Tidak tolah-toleh. Tidak pula menyapa jemaah lain. Mereka berjalan lurus masuk ke masjid. Lalu berdiri di barisan terdepan. Salah satunya mengambil posisi sebagai imam.
Oh, mereka memang berbeda dengan jemaah biasa. Bukan hanya pakaiannya. Tapi juga peranannya. Merekalah yang disebut para imam. Imam di sini memang memegang peran sentral. Jemaah biasa tidak bisa mengambil tempat di barisan ini. Barisan imam ini seperti kelas khusus yang lebih tinggi. Merekalah yang mendalami agama. Sedang jemaah biasa cukup mengikuti mereka. Ini agak berbeda dengan di Indonesia. Banyak jemaah biasa di Indonesia yang rajin mendalami pengetahuan agama.
Ruangan masjid ini cukup untuk 700 orang. Di bagian kiri dan kanan ruangan masjid banyak terdapat meja setinggi meja makan dan kursi. Setiap satu kursi ada meja di depannya. Di bagian kiri terdapat sekitar 20 meja-kursi. Demikian juga di sisi kanan.
Rupanya inilah kursi untuk sembahyang bagi orang yang sudah tidak kuat berdiri. Orang tua. Mereka sembahyang sambil duduk di kursi. Sedang meja berlapis kain di depannya tadi untuk landasan bersujud. Di masjid ini infrastruktur salat untuk orang tua disediakan sangat cukup.
Saya tahu Islam di Tiongkok menganut madzab Hambali. Sedikit berbeda dengan Islam di Indonesia yang umumnya menganut madzab Syafi?i. Perbedaan ini tidak banyak. Paling angkat tangannya saja yang hanya sekali sepanjang salat. Yakni saat takbiratul ikram di awal salat. Atau jemaah tidak mengucapkan kata “amin” dengan suara keras dan nada yang panjang saat imam selesai membaca al fatihah.
Ucapan “amin” dari jemaah hanya terdengar sangat pendek dan lemah. Pada rekaat pertama hanya saya sendiri yang mengucap “amin” dengan keras dan panjang. Tentu terasa aneh dan menonjol. Pada rekaat kedua saya tidak mengulangi lagi kenyelenehan itu.
Ada lagi yang membuat saya kagok. Begitu imam mengucapkan salam pertanda salat sudah selesai, seluruh jemaah spontan berdiri dan bubar. Sebagai orang yang biasa setelah salam masih harus berdoa dan berdzikir, saya kaget melihat itu. Rasanya seperti tidak sopan atau tidak khusyu”. Kalau di Indonesia seseorang melakukan hal seperti itu bisa-bisa cacat sosial: dicap “lam-cat”, habis salam meloncat.
Tapi saya lantas iangat ajaran ini: selesai salat bersegeralah bertebar di muka bumi untuk mencari rizki. Rupanya mereka menerapkan ajaran ini. Karena ini bulan puasa, maka rizki berupa makanan memang sudah siap diserbu. Di halaman lain di luar masjid ini memang sudah disediakan lima meja berikut kursi-kursinya. Di sinilah mereka makan malam. Berbagai roti dan kure tersedia. Yang dari masjid wanita juga bergabung di sini. Makan malam ini waktunya amat longgar. Sebab rangkaian salat tarawih baru akan dilakukan pukul 20.30.
Ada dua acara sebelum salat tarawih. Pada 15 menit pertama, delapan imam yang kembali sudah mengambil posisi di barisan depan itu secara bergantian membaca surat-surat pendek dari bagian akhir Al Quran. Lima belas menit berikutnya untuk ceramah agama, tentu dalam bahasa Mandarin. Salah satu imam tampil sebagai penceramah. Ceramahnya pun langsung menuju isi, tanpa mengucapkan “asalamu alaikum” di awal atau di penutupnya.
Tepat jam 21.00 salat tarawih dimulai. Karena 20 rakaat (ditambah 3 rakaat witir) maka jam 22.00 baru selesai. Apalagi tiap dua rakaat diselingi pembacaan puji-pujian dari seluruh jemaah, dan setiap empat rekaan puji-pujian itu lebih panjang. Karena cukup panjang inilah banyak jemaah yang belum hafal. Mereka membawa teks di atas kertas satu folio.
Puji-pujian ini seperti dalam bahasa Arab. Tapi telinga saya kurang bisa menangkap apa bunyi sebenarnya. Yang jelas bukan salawat nabi. Saya penasaran ingin tahu. Setelah rakaat kedelapan saya mencoba meminjam teks itu. Oh, dalam tulisan mandarin. Apakah puji-pujian itu dalam bahasa Mandarin” Tidak. Sebab setelah saya baca tulisan itu tidak ada artinya dalam bahasa Mandarin. Ternyata tulisannya saja yang Mandarin, tapi bunyinya mirip bunyi huruf Arab. Rupanya banyak jamaah yang tidak bisa membaca huruf Arab sehingga ditulis dalam huruf Mandarin.
Cukup banyak yang tawarih malam itu. Sekitar 300 orang, termasuk sekitar 30 orang yang menggunakan kursi. Kali ini tidak sendirian saya “kecele” mengucapkan “amiiin” dalam pengucapan yang keras dan agak panjang. Dari arah belakang terdengar juga “amiin” yang sama.
Setelah tarawih, saya baru tahu ada dua orang asing di situ: satu dari Turki dan satunya lagi dari salah satu negara timur-tengah. Beda dengan saya yang segera ikut cara Hambali, dua orang ini terus saja mengucapkan “amiin” dengan suara yang keras dan panjang selama 23 rakaat malam itu.
Kini lebih lengkap saya mengikuti cara ibadah madzhab Hambali. Mulai dari cara berjamaah, berbuka, tarwih, membayar zakat, memperlakukan imam, memperlakukan orang yang meninggal dunia dan ziarah kubur mereka.(*)
No comments:
Post a Comment