Aqsa - “Dari Indonesia,” jawab saya.
“Muslim?” Tanya tentara Israel bersenjata itu.
“Yes,” jawab saya.
Kami pun bisa dengan mudah melewati gerbang tua dengan tembok yang tebal dan kokoh itu. Gerbang yang dijaga tentara Israel bersenjata. Inilah gerbang masuk ke kawasan yang luasnya sekitar 10 lapangan sepakbola. Yang di dalamnya terdapat taman dan pepohonan.
Di tengah taman itu terdapat masjid besar berkubah kuning. Itulah Masjid Kubah Batu. Tidak jauh dari situ terlihat satu masjid besar lagi: itulah Masjid Al Aqsa.
Tembok yang mengelilingi kawasan ini terlihat tinggi, tebal dan terkesan sangat kuno. Dari luar, tembok ini tidak terlihat karena tertutup perkampungan yang padat, yang sampai menempel ke tembok.
Dari arah kota Jerusalem, untuk mencapai gerbang ini harus jalan kaki melewati gang-gang kecil yang sambung-menyambung. Juga naik turun dan berliku-liku.
Itulah perkampungan yang hampir 100% penduduknya warga Palestina. Tukang cukur, penjual makanan, mainan anak-anak, dan toko kelontong terlihat di sepanjang gang itu.
Melewati gang-gang menuju gerbang Baitul Maqdis saya teringat bagaimana masuk ke Masjid Ampel Surabaya, yang harus melewati kampung Arab yang padat. Ya mirip itulah.
Bagi penduduk kampung ini tidak ada larangan apa pun untuk melewati gerbang itu. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa) kapan saja.
Tapi bagi warga di luar kampung tua ini ada peraturan khusus: yang berumur kurang dari 40 tahun tidak boleh masuk. Otomatis dilarang juga salat di sana. Untuk mengontrol mereka, warna KTP-nya dibedakan: hijau.
Ini dalih Israel, untuk mencegah berkumpulnya pejuang Palestina dari berbagai penjuru di masjid Al Aqsa.
Ada tujuh gerbang masuk ke kawasan Baitul Maqdis ini. Semuanya terhubung dengan gang-gang kecil perkampungan padat Palestina. Semua dijaga tentara Israel bersenjata.
Kalau saja lebih terurus, kawasan di dalam tembok tua ini akan sangat indah. Taman-tamannya yang luas dipisahkan oleh jalan-jalan kecil terbuat dari batu. Hanya saja kurang rapi dan kurang bersih.
Hari itu, hari ke-28 bulan puasa, saya tiba di sini langsung dari perbatasan Israel-Jordania. Saya tidak mampir hotel dengan maksud mengejar salat zuhur berjamaah. Tapi telat.
Tapi ada hikmahnya. Saya bisa salat zuhur bersama keluarga di Masjid Kubah Batu. Laki-laki memang hanya diizinkan memasuki masjid Kubah Batu di antara waktu zuhur dan ashar.
Masjid Kubah Batu ini istimewa karena ada bukit batu di tengah-tengahnya. Bukit batu ini dikelilingi tembok setinggi 3 meter sehingga jemaah di sini seperti berjajar melingkarinya.
Dari atas bukit batu inilah Nabi Muhammad SAW “naik” ke Sidratul Muntaha, menghadap Allah SWT. Yakni untuk menerima perintah kewajiban menjalankan salat lima kali sehari.
Peristiwa itu terjadi di malam hari tanggal 27 Rajab, yang kemudian tiap tahun diperingati sebagai Isra' Mi’raj.
Waktu peristiwa Isra' Mi’raj itu terjadi tentu belum ada bangunan apa pun di situ. Masjid Kubah Batu tersebut baru dibangun belakangan. Di bawah bukit batu ini terdapat juga goa yang besarnya cukup untuk bersembunyi 10 orang. Konon Nabi Ibrahim yang menggalinya.
Kini masjid Kubah Batu hanya untuk wanita. Imamnya ikut imam Masjid Al Aqsa dengan pengeras suara yang dialirkan ke masjid ini. Jarak masjid Kubah Batu dengan masjid Al Aqsa memang hanya sekitar 300 meter. Al Aqsa lebih di bawah.
Tiga Risiko
Usai salat zuhur di Kubah Batu, kami jalan-jalan melihat sisi luar tembok kuno yang mengelilingi kawasan ini. Ada satu kawasan di luar tembok yang bisa dibebaskan dari perumahan Palestina. Itulah bagian luar tembok yang kemudian dijadikan tempat ibadah orang Yahudi. Mereka antre menuju tembok ini, menangis dan meratap di situ.
Sore itu kami salat ashar di masjid Al Aqsa. Waktu maghrib kami ke masjid ini lagi. Disambung salat isya dan tarawih.
Tarawih di sini sama dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan surahnya pun sangat panjang. Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat nabi.
Jemaah tarawih malam itu sekitar 1.500 orang. Hanya saja setiap selesai dua rakaat ada saja yang meninggalkan masjid. Selesai rakaat ke-10 tinggal separuh masjid terisi.
Di Al Aqsa mayoritas jemaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana jeans atau celana anak muda setengah tiang). Hanya beberapa orang yang mengenakan penutup kepala.
Menjelang subuh saya ke masjid Al Aqsa lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa.
Menjelang matahari terbit saya duduk-duduk di pelataran masjid. Demikian juga puluhan anak muda. Udaranya sejuk. Pepohonan besar terasa seperti mengeluarkan oksigen lebih banyak.
Saat duduk-duduk itulah saya tahu ternyata cukup banyak anak muda yang ber-KTP hijau. Kok bisa masuk ke sini?
“Loncat pagar kawat berduri,” ujar pemuda 27 tahun itu.
“Saya melewati lubang yang saya buat di bawah pagar,” ujar pemuda di sebelahnya.
“Kalau saya memanfaatkan jarak kawat yang agak renggang yang cukup untuk badan saya,” kata seorang pemuda yang ternyata dokter.
Mereka itu adalah pemuda-pemuda Palestina yang sangat merindukan salat di masjid Al Aqsa. “Sejak adanya larangan anak muda datang ke sini, baru sekali ini saya ke masjid Al Aqsa,” katanya.
Al Aqsa tentu sangat istimewa. Inilah infrastruktur pertama yang pernah dibangun di muka bumi. Yakni 40 tahun setelah pembangunan Ka’bah yang pertama. Baik Al Aqsa maupun Ka’bah sama-sama sudah mengalami berkali-kali pembangunan kembali. Setelah rusak oleh gempa maupun banjir.
Dua-duanya dipercaya dibangun oleh malaikat sebelum Nabi Adam turun ke bumi.
Keistimewaan Al Aqsa itulah yang membuat para pemuda Palestina itu mengambil risiko yang berat untuk bisa salat malam tanggal 27 Ramadan di dalamnya. Al Aqsa adalah tempat suci mereka dan ibukota negara mereka.
Sejak Israel membangun perumahan Yahudi di tanah Palestina, perkampungan orang Palestina dipagari kawat berduri. Ini untuk memisahkan mereka dari kampung Yahudi.
UUD Israel memang menyebutkan: orang Yahudi dari mana pun yang mau datang ke tanah Palestina disediakan rumah, mobil, dan keperluan hidupnya. Sejak itu perkampungan Yahudi terus dibangun di tanah Palestina.
Orang-orang Palestina sendiri untuk bisa keluar dari kampungnya harus lewat pos penjagaan ketat. Atau meloncati pagar.
Untuk datang ke Masjid Al Aqsa, misalnya, mereka menempuh tiga risiko. Pertama, bagaimana bisa keluar kampung dengan meloncat pagar.
Kedua, bagaimana bisa berjalan kaki jauh, naik turun bukit, untuk mencapai Al Aqsa. Bisa saja di tengah jalan mereka ditangkap.
Ketiga, bagaimana dengan KTP hijau bisa melewati penjagaan tentara bersenjata di gerbang masuk Baitul Maqdis.
Israel menduduki tanah Palestina sejak 1947/1948. Waktu itu kawasan ini menjadi jajahan Inggris. Ketika orang Yahudi dimusuhi di mana-mana (terutama di Jerman dan Rusia), pemerintah Inggris memutuskan memberikan negara kepada orang Yahudi.
Pilihannya dua. Dua-duanya di wilayah jajahan Inggris: Uganda atau Palestina.
Semula Inggris menentukan Uganda di Afrika. Tapi Yahudi menolak. Mereka memilih tanah Palestina. Yahudi percaya Yerusalem adalah tanah leluhur mereka. Sejak itulah tidak pernah ada ketenteraman di Timur Tengah.
Pemuda yang loncat pagar itu lantas menyingsingkan celananya. “Lihat, ini,” katanya. Terlihat luka-luka baru masih menyisakan darah yang mulai mengering. Bekas goresan pagar kawat berduri itu terlihat memanjang sampai dekat lututnya.
“Muslim?” Tanya tentara Israel bersenjata itu.
“Yes,” jawab saya.
Kami pun bisa dengan mudah melewati gerbang tua dengan tembok yang tebal dan kokoh itu. Gerbang yang dijaga tentara Israel bersenjata. Inilah gerbang masuk ke kawasan yang luasnya sekitar 10 lapangan sepakbola. Yang di dalamnya terdapat taman dan pepohonan.
Di tengah taman itu terdapat masjid besar berkubah kuning. Itulah Masjid Kubah Batu. Tidak jauh dari situ terlihat satu masjid besar lagi: itulah Masjid Al Aqsa.
Tembok yang mengelilingi kawasan ini terlihat tinggi, tebal dan terkesan sangat kuno. Dari luar, tembok ini tidak terlihat karena tertutup perkampungan yang padat, yang sampai menempel ke tembok.
Dari arah kota Jerusalem, untuk mencapai gerbang ini harus jalan kaki melewati gang-gang kecil yang sambung-menyambung. Juga naik turun dan berliku-liku.
Itulah perkampungan yang hampir 100% penduduknya warga Palestina. Tukang cukur, penjual makanan, mainan anak-anak, dan toko kelontong terlihat di sepanjang gang itu.
Melewati gang-gang menuju gerbang Baitul Maqdis saya teringat bagaimana masuk ke Masjid Ampel Surabaya, yang harus melewati kampung Arab yang padat. Ya mirip itulah.
Bagi penduduk kampung ini tidak ada larangan apa pun untuk melewati gerbang itu. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa) kapan saja.
Tapi bagi warga di luar kampung tua ini ada peraturan khusus: yang berumur kurang dari 40 tahun tidak boleh masuk. Otomatis dilarang juga salat di sana. Untuk mengontrol mereka, warna KTP-nya dibedakan: hijau.
Ini dalih Israel, untuk mencegah berkumpulnya pejuang Palestina dari berbagai penjuru di masjid Al Aqsa.
Ada tujuh gerbang masuk ke kawasan Baitul Maqdis ini. Semuanya terhubung dengan gang-gang kecil perkampungan padat Palestina. Semua dijaga tentara Israel bersenjata.
Kalau saja lebih terurus, kawasan di dalam tembok tua ini akan sangat indah. Taman-tamannya yang luas dipisahkan oleh jalan-jalan kecil terbuat dari batu. Hanya saja kurang rapi dan kurang bersih.
Hari itu, hari ke-28 bulan puasa, saya tiba di sini langsung dari perbatasan Israel-Jordania. Saya tidak mampir hotel dengan maksud mengejar salat zuhur berjamaah. Tapi telat.
Tapi ada hikmahnya. Saya bisa salat zuhur bersama keluarga di Masjid Kubah Batu. Laki-laki memang hanya diizinkan memasuki masjid Kubah Batu di antara waktu zuhur dan ashar.
Masjid Kubah Batu ini istimewa karena ada bukit batu di tengah-tengahnya. Bukit batu ini dikelilingi tembok setinggi 3 meter sehingga jemaah di sini seperti berjajar melingkarinya.
Dari atas bukit batu inilah Nabi Muhammad SAW “naik” ke Sidratul Muntaha, menghadap Allah SWT. Yakni untuk menerima perintah kewajiban menjalankan salat lima kali sehari.
Peristiwa itu terjadi di malam hari tanggal 27 Rajab, yang kemudian tiap tahun diperingati sebagai Isra' Mi’raj.
Waktu peristiwa Isra' Mi’raj itu terjadi tentu belum ada bangunan apa pun di situ. Masjid Kubah Batu tersebut baru dibangun belakangan. Di bawah bukit batu ini terdapat juga goa yang besarnya cukup untuk bersembunyi 10 orang. Konon Nabi Ibrahim yang menggalinya.
Kini masjid Kubah Batu hanya untuk wanita. Imamnya ikut imam Masjid Al Aqsa dengan pengeras suara yang dialirkan ke masjid ini. Jarak masjid Kubah Batu dengan masjid Al Aqsa memang hanya sekitar 300 meter. Al Aqsa lebih di bawah.
Tiga Risiko
Usai salat zuhur di Kubah Batu, kami jalan-jalan melihat sisi luar tembok kuno yang mengelilingi kawasan ini. Ada satu kawasan di luar tembok yang bisa dibebaskan dari perumahan Palestina. Itulah bagian luar tembok yang kemudian dijadikan tempat ibadah orang Yahudi. Mereka antre menuju tembok ini, menangis dan meratap di situ.
Sore itu kami salat ashar di masjid Al Aqsa. Waktu maghrib kami ke masjid ini lagi. Disambung salat isya dan tarawih.
Tarawih di sini sama dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan surahnya pun sangat panjang. Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat nabi.
Jemaah tarawih malam itu sekitar 1.500 orang. Hanya saja setiap selesai dua rakaat ada saja yang meninggalkan masjid. Selesai rakaat ke-10 tinggal separuh masjid terisi.
Di Al Aqsa mayoritas jemaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana jeans atau celana anak muda setengah tiang). Hanya beberapa orang yang mengenakan penutup kepala.
Menjelang subuh saya ke masjid Al Aqsa lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa.
Menjelang matahari terbit saya duduk-duduk di pelataran masjid. Demikian juga puluhan anak muda. Udaranya sejuk. Pepohonan besar terasa seperti mengeluarkan oksigen lebih banyak.
Saat duduk-duduk itulah saya tahu ternyata cukup banyak anak muda yang ber-KTP hijau. Kok bisa masuk ke sini?
“Loncat pagar kawat berduri,” ujar pemuda 27 tahun itu.
“Saya melewati lubang yang saya buat di bawah pagar,” ujar pemuda di sebelahnya.
“Kalau saya memanfaatkan jarak kawat yang agak renggang yang cukup untuk badan saya,” kata seorang pemuda yang ternyata dokter.
Mereka itu adalah pemuda-pemuda Palestina yang sangat merindukan salat di masjid Al Aqsa. “Sejak adanya larangan anak muda datang ke sini, baru sekali ini saya ke masjid Al Aqsa,” katanya.
Al Aqsa tentu sangat istimewa. Inilah infrastruktur pertama yang pernah dibangun di muka bumi. Yakni 40 tahun setelah pembangunan Ka’bah yang pertama. Baik Al Aqsa maupun Ka’bah sama-sama sudah mengalami berkali-kali pembangunan kembali. Setelah rusak oleh gempa maupun banjir.
Dua-duanya dipercaya dibangun oleh malaikat sebelum Nabi Adam turun ke bumi.
Keistimewaan Al Aqsa itulah yang membuat para pemuda Palestina itu mengambil risiko yang berat untuk bisa salat malam tanggal 27 Ramadan di dalamnya. Al Aqsa adalah tempat suci mereka dan ibukota negara mereka.
Sejak Israel membangun perumahan Yahudi di tanah Palestina, perkampungan orang Palestina dipagari kawat berduri. Ini untuk memisahkan mereka dari kampung Yahudi.
UUD Israel memang menyebutkan: orang Yahudi dari mana pun yang mau datang ke tanah Palestina disediakan rumah, mobil, dan keperluan hidupnya. Sejak itu perkampungan Yahudi terus dibangun di tanah Palestina.
Orang-orang Palestina sendiri untuk bisa keluar dari kampungnya harus lewat pos penjagaan ketat. Atau meloncati pagar.
Untuk datang ke Masjid Al Aqsa, misalnya, mereka menempuh tiga risiko. Pertama, bagaimana bisa keluar kampung dengan meloncat pagar.
Kedua, bagaimana bisa berjalan kaki jauh, naik turun bukit, untuk mencapai Al Aqsa. Bisa saja di tengah jalan mereka ditangkap.
Ketiga, bagaimana dengan KTP hijau bisa melewati penjagaan tentara bersenjata di gerbang masuk Baitul Maqdis.
Israel menduduki tanah Palestina sejak 1947/1948. Waktu itu kawasan ini menjadi jajahan Inggris. Ketika orang Yahudi dimusuhi di mana-mana (terutama di Jerman dan Rusia), pemerintah Inggris memutuskan memberikan negara kepada orang Yahudi.
Pilihannya dua. Dua-duanya di wilayah jajahan Inggris: Uganda atau Palestina.
Semula Inggris menentukan Uganda di Afrika. Tapi Yahudi menolak. Mereka memilih tanah Palestina. Yahudi percaya Yerusalem adalah tanah leluhur mereka. Sejak itulah tidak pernah ada ketenteraman di Timur Tengah.
Pemuda yang loncat pagar itu lantas menyingsingkan celananya. “Lihat, ini,” katanya. Terlihat luka-luka baru masih menyisakan darah yang mulai mengering. Bekas goresan pagar kawat berduri itu terlihat memanjang sampai dekat lututnya.
No comments:
Post a Comment