Monday, August 27, 2012

Pilihan baru: Live TV subsidi atau e-BBM

Meski DPR sudah memberikan izin dengan ketentuan tertentu untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah tidak akan begitu saja menaikkannya.

Demikian juga, meski DPR sudah menaikkan plafon subsidi BBM dari Rp123 triliun ke Rp137 triliun, kami masih terus berdebar apakah nilai tersebut cukup untuk pengadaan BBM bersubsidi sampai akhir Desember 2012.

Jangan-jangan pertengkaran antara Presiden Obama dan Iran terus meningkat, sehingga harga minyak mentah dunia terus membumbung. Akibatnya angka subsidi yang sudah sebesar “gajah bengkak” itu masih belum cukup.


Maka sambil memikirkan apakah harus menaikkan harga BBM atau melakukan konversi ke gas, atau melakukan pembatasan, atau cara-cara lainnya, sebaiknya kami memperbanyak doa: semoga Obama segera mencium pipi Ayatullah Khamenei. Semoga AS segera rukun dengan Iran.

Semoga Obama segera mencabut ancamannya menyerang Iran. Dan Iran mencabut ancamannya menutup Selat Hormuz yang menjadi pintu keluar minyak mentah dari Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Bahrain, Qatar, Irak, dan Iran sendiri itu.

BUMN sendiri akan mengajukan usul kalau saja pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM. Caranya sangat modern, tepat guna dan sulit dimanupilasi oleh yang tidak berhak. Basisnya menggunakan teknologi informasi yang canggih.

Selama ini, ide pembatasan BBM sulit dilaksanakan karena caranya dirancang sangat tradisional yang sulit dikontrol. Misalnya menggunakan stiker. Mobil-mobil yang layak disubsidi ditempeli stiker. Rasanya memang akan banyak persoalan dengan cara ini.

Yang BUMN akan usulkan adalah: setiap mobil yang layak disubsidi dipasangi peralatan elektronik untuk kartu e-BBM. Para pemilik mobil bisa meminta peralatan tersebut dengan cara menunjukkan BPKB dan kartu tanda penduduk (KTP). Data pokok dimasukkan dalam e-BBM.

Misalnya berapa cc mobil tersebut, tahun berapa, dan siapa pemiliknya. Dan yang paling penting: kartu itu akan memuat data berapa jatah BBM bersubsidi yang pantas diberikan kepadanya. Misalnya 300 liter per bulan untuk mobil kelas 1.300 cc.

Peralatan ini ditaruh di “dashboard” mobil untuk memudahkan nanti kalau mau mengisi bensin. Di setiap SPBU akan dilengkapi mesin “reader” yang bisa membaca kartu e-BBM. Kalau Anda ingin membeli bensin bersubsidi, Anda tinggal menyerahkan kartu e-BBM. Petugas SPBU memasukkan e-BBM ke reader.

Saat itulah diketahui apakah Anda layak menerima subsidi. Kalau pun layak, masih akan terbaca apakah jatah BBM bersubsidi Anda bulan ini masih berapa liter.

Yang tidak memiliki kartu ini, dan yang jatah subsidi bulanannya sudah habis, harus membayar BBM dengan harga lebih tinggi. Masih disubsidi juga, tapi subsidinya lebih kecil.

Salah satu BUMN yang selama ini bergerak di bidang elektronik akan mampu memproduksi dan menyediakan alat ini. Tentu bekerja sama dengan pemili teknologi yang sudah terbukti andal. Teknologi ini sudah dipakai dengan sukses di Afrika Selatan, Chili, Venezuela, Columbia, dan beberapa negara Amerika Latin.

Memang kira-kira diperlukan dana sekitar Rp4 triliun untuk sekitar 6 juta mobil yang layak disubsidi. Yakni mobil yang cc-nya 1.300 ke bawah, mobil angkutan umum, dan terserah mobil yang seperti apa lagi. Penghematan subsidinya bisa Rp30 triliun. Dan yang penting: subsidi bisa benar-benar tepat sasaran.

Pengerjaannya juga lebih sederhana dibanding konversi gas yang biayanya lebih mahal. Belum lagi, perasaan pemilik mobil yang juga lebih nyaman.

Selama ini, kalau saja diumumkan secara terbuka dan menggunakan layar digital mengenai berapa subsidi yang diberikan kepada pemilik mobil, bisa-bisa akan jadi tontotan tukang bakso yang menarik.

Coba saja setiap mobil yang masuk SPBU ditayangkan secara “live di TV”. Setiap selesai isi bensin langsung ditayangkan mobil tersebut menerima subsidi berapa ratus ribu rupiah dari pemerintah.

Katakanlah ada mobil sedan Toyota Altis (1.800 cc) masuk SPBU. Setelah mengisi bensin dengan penuh, langsung ditayangkan bahwa pemilik mobil tersebut baru saja menerima subsidi dari pemerintah sebesar Rp120.000.

Pasti para pedagang bakso, mie dorong, dan para penganggur akan asyik menonton “live TV”. Mereka akan bergerombol di depan TV melihat dan menghitung deretan mobil yang masuk SPBU. Dengan asyiknya mereka menyaksikan para pemilik mobil tersebut masing-masing mendapat bantuan berapa ratus ribu rupiah dari pemerintah.

Mereka akan asyik bergerombol menonton “live TV” sambil membayangkan begitu mudah orang mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp120.000 hanya dengan syarat harus memiliki mobil Toyota Altis. Sedang dirinya yang hanya bisa berjualan bakso dan nasi goreng dorong, tidak bisa mendapat bantuan seperti itu hanya karena tidak memiliki sedan Toyota Altis.

Meski mereka itu penjual bakso, nasi goreng, mie dorong, pedagang sayur keliling, dan para penganggur tapi mereka bukan orang bodoh. Mereka bisa berhitung. Mereka juga akan menonton “live TV” sambil mengingat (niteni) berapa kali sebulan Toyota Altis tersebut masuk SPBU.

Mereka pun bisa berhitung bahwa pemilik sedan Toyota Altis atau pemilik mobil apa pun yang sejenis menerima bantuan pemerintah melalui subsidi BBM sebesar Rp480.000/bulan. Alias menerima bantuan pemerintah Rp 5.000.000/tahun!

Kalau saja setiap mobil yang masuk SPBU disiarkan “live TV” dan diperlihatkan nomor mobilnya lalu disebutkan bahwa mobil ini telah menerima bantuan pemerintah Rp5 juta/tahun, maka rasanya tidak akan ada tontotan yang ratingnya lebih tinggi dari “live show” ini. Orang-orang miskin akan asyik menonton untuk memimpikan sesuatu dan mimpi itu adalah hiburan satu-satunya bagi mereka.

Maka setelah heboh-heboh BBM berlalu kita punya waktu untuk memilih: akan menyelenggarakan program “live TV”, atau melakukan pembatasan, atau konversi ke gas, atau menaikkan harga BBM.

Atau cara yang lain lagi yang belum terpikirkan. Tentu bicara terus juga tidak ada hasil nyatanya. Sambil menunggu pilihan yang tepat, saya tetap akan meminta salah satu BUMN untuk menyiapkan diri: siapa tahu pembatasan BBM model e-BBM tadi bisa dipilih.

Dengan sekali pengeluaran Rp4 triliun bisa menghemat sedikitnya Rp30 triliun/tahun.

Tentu, jangan lupa Putra Petir.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah memanggil rektor-rektor universitas besar untuk mempersiapkan mobil listrik nasional ini. Para rektor itu (Rektor UGM, Rektor ITS, Rektor UI, dan Rektor ITB) secara mengejutkan menyampaikan kepada Presiden bahwa konsep mobil listrik nasional ini sudah terwujud.

Presiden tidak menyangka kalau para rektor begitu antusias dan begitu konkret menyambut gagasan mobil listrik nasional ini.

Gerakan mobil listrik kini memang menggema di seluruh dunia. Bahkan harian New York Times dan International Herald Tribune edisi bulan lalu mengulasnya secara panjang. Kepercayaan masyarakat juga sudah tinggi.

Terbukti konsumen di Amerika Serikat sudah antre menaruh uang muka untuk membeli mobil listrik ke salah satu perusahaan pioneer di sana.

Obama memang serius dalam program pengurangan ketergantuangan kepada minyak. Apakah ini juga pertanda dia tidak akan mau mencium pipi Ayatullah Khamenei? Dan kita terus tersikasa BBM karenanya?.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

No comments:

Post a Comment