Ketika dua gubernur ini diundang untuk berdebat di Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) pada Juni lalu, kami memang berharap salah satunya akan sangat baik kalau bisa menjadi menteri dalam negeri: Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi dan Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad.
Dua-duanya gubernur yang sangat berprestasi, meski melakukan pendekatan yang berlawanan. Gamawan lebih cenderung sentralisasi, namun dengan aturan yang jelas dan mudah. Sedangkan Fadel berpihak pada otonomi daerah yang lebih penuh.
Perdebatan hari itu sangat menarik. Dua kutub yang berlawanan namun dengan tujuan sama: memajukan Indonesia. Dua-duanya sangat gamblang dalam memberikan alasan. Dan dua-duanya membuahkan hasil yang gemilang.
Gamawan, meski prosentralisasi, bukan berarti antidesentralisasi. Sebagai gubernur yang sebelumnya sangat sukses menjadi bupati Solok dua periode, dia tahu benar kesulitan-kesulitan kepala daerah. Sebagian besar kesulitan itu berasal dari saling bertentangannya peraturan atau tidak adanya peraturan.
Sampai-sampai, dalam suatu kesempatan berbincang dengan saya di Padang dua tahun lalu, Gamawan bersumpah tidak akan maju lagi menjadi gubernur untuk periode kedua. Dengan kebijakan menteri dalam negeri selama ini, dia merasa tidak ada manfaatnya menjadi gubernur.
Gamawan ternyata memang tidak mungkin menjadi gubernur lagi. Dia malah menjadi menteri dalam negeri. Maka, Gamawan mestinya sudah tahu persis apa yang harus diperbuat dalam jabatannya yang baru ini. Atau, dia ternyata juga seperti menteri sebelumnya: begitu masuk ke departemen dalam negeri, dia langsung terjerat oleh kerangkeng birokrasi yang kuat di dalamnya -dan dia bisa menikmatinya.
Fadel sendiri ternyata juga menjadi menteri: perikanan dan kelautan. Sebuah kementerian yang semestinya juga cocok untuk dirinya. Bukankah lima tahun lalu Fadel sangat jengkel karena idenya gagal dilaksanakan karena dia hanya seorang gubernur? Yakni, ide untuk membuat Teluk Tomini yang begitu kaya ikan sebagai wilayah khusus yang perikanannya bisa menarik perhatian dunia.
Ide Fadel itu gagal karena Teluk Tomini ”dimiliki” oleh tiga gubernur: Sulut, Gorontalo, dan Sulteng. Untuk membuat potensi Teluk Tomini menjadi pusat perikanan dunia, haruslah tiga gubernur tersebut sepakat. Kesepakatan itulah yang gagal dia peroleh. Kini, sebagai menteri perikanan dan kelautan, Fadel tentu akan bisa memaksakan ide lamanya tersebut.
Apalagi, bekal dari menteri perikanan dan kelautan sebelumnya, Fredy Numberi, sudah cukup. Numberi yang kurang dikenal prestasinya itu sebenarnya menteri perikanan dan kelautan yang sangat hebat. Bahkan, Numberi-lah menteri perikanan dan kelautan yang terhebat yang pernah ada di negeri ini. Prestasinya yang paling mencolok adalah: dikeluarkannya keputusan menteri bahwa kapal-kapal ikan asing dilarang menangkap ikan di perairan Indonesia. Kalau mau menangkap ikan di Indonesia, haruslah mengolah hasil tangkapannya menjadi produk setengah jadi.
Akibat keputusannya itu luar biasa. Selama ini, ternyata ada sekitar 1.000 kapal asing yang menjarah perairan kaya ikan di Indonesia timur. Terutama dari Thailand dan Taiwan. Sampai-sampai, seorang tokoh swasta yang dinilai dekat dengan Numberi dilobi oleh perusahaan asing untuk mengusahakan agar pelaksanaan peraturan tersebut ditunda. Untuk itu, pengusaha asing tersebut bersedia menyogok USD 10 juta (sekitar Rp 100 miliar). Semua itu tidak mempan. Fredy Numberi adalah menteri yang integritasnya sangat tinggi.
Integritas itulah yang diperlukan untuk menjadi menteri perhubungan. Modal integritas itulah yang akan menjadi andalan Numberi untuk menduduki jabatan barunya sebagai menteri perhubungan. Kementerian ini sangat-sangat basah: pelabuhan, bandara, perkapalan, penerbangan, semua ada di wilayahnya.
Diperlukan disiplin yang kuat untuk menertibkan semua itu. Jangankan soal yang berat-berat, urusan mengatur antre di bandara saja tidak pernah diurus dengan baik. Padahal, sistem antre sekarang ini sudah sangat-sangat modern. Apalagi soal-soal yang lebih basah itu: diperlukan integritas seperti Numberi untuk mengeringkannya.
Setelah aturan kelautan dan perikanan ditegakkan Numberi, kini era Fadel yang akan mewujudkannya sebagai ”emas berloncatan” bagi Indonesia. Industri perikanan pasti akan maju di tangan Fadel. Sekarang saja sudah 10 investor asing yang berminat terjun ke perikanan Indonesia setelah mereka tidak boleh lagi menjarah begitu saja.
Gamawan, menteri dalam negeri sipil pertama sejak Orde Baru, pasti akan memberi warna baru pembenahan birokrasi yang amat ruwet itu. Fadel, yang lahan tandus pun bisa dia ubah jadi pusat produksi jagung, tentu dengan kepiawaiannya itu bisa melahirkan ”emas berloncatan” sebagai sumber kemakmuran baru. Apalagi, mengandalkan emas hitam ternyata hanya membuat kita tergelincir dan emas hijau kita juga sudah parah keadaannya.
Diluar itu, ada M. Nuh yang kini menjadi Mendiknas. Yang menarik adalah bagaimana orang yang punya integritas dan sangat jujur ini sekarang harus mengelola anggaran Rp 250 triliun. Orang pasti ingin tahu bagaimana menteri yang rumahnya berada di sebuah perkampungan di Surabaya itu harus mengatur dana terbesar APBN Indonesia.
Rasanya, hanya empat menteri ini yang menarik untuk diulas. Selebihnya tentu harus dilihat dulu dalam waktu 100 hari ke depan. Kalaupun tidak mau menunggu, juga tidak apa-apa. Siapa yang mau peduli dengan nama Agung Laksono, atau Linda siapa itu, atau siapa pun yang menjadi menteri daerah tertinggal. (*)
No comments:
Post a Comment