Berita terjadinya tabrakan kereta cepat di Tiongkok Sabtu malam (23/7) waktu setempat, tentu mengejutkan saya. Apalagi kecelakaan yang menewaskan 35 orang dan melukai 200 orang lebih itu terjadi hanya satu minggu setelah saya mencoba menggunakan kereta cepat yang baru di sana saat bepergian dari Beijing ke Shanghai.
Lebih mengagetkan lagi, karena penyebab kecelakaan kali ini sama dengan penyebab terhentinya kereta cepat Beijing-Shanghai. Yakni sistem listriknya disambar petir. Dalam dua minggu pertama beroperasinya kereta peluru Beijing-Shanghai, terjadi tiga kali kereta tiba-tiba berhenti karena sistem listriknya tiba-tiba tidak berfungsi. Yakni setelah sistem itu disambar petir.
Tentu ngeri membayangkan, bagaimana kereta cepat tiba-tiba berhenti, kemudian ditabrak oleh kereta cepat yang datang berikutnya dari belakang seperti yang terjadi Sabtu malam itu. Berarti, ada dua sistem yang rusak. Di samping sistem relay untuk mencegah pengaruh petir, juga sistem informasi otomatis yang mestinya bisa menghentikan kereta cepat berikutnya.
Saya terus mengikuti perkembangan kecelakaan itu lewat berbagai jalur informasi. Ternyata, yang terlibat kecelakaan ini bukan kereta peluru generasi terbaru seperti jurusan Beijing-Shanghai. Ini kereta peluru generasi pertama yang kecepatannya masih 170 km/jam. Seperti yang saya naiki minggu lalu dari kota Chengdu ke Chongqing.
Setelah generasi ini, lahir generasi kecepatan 350 km/jam. Seperti untuk jurusan Beijing-Tianjin atau Shanghai-Hangzhou. Lalu, lahir pula generasi berikutnya dengan kecepatan 300 (tepatnya 312 km/jam) seperti yang baru saja saya naiki dari Beijing ke Shanghai. Dalam waktu dekat, akan lahir generasi yang dianggap paling tepat, yakni generasi yang kecepatannya 270 km/jam. Yang terakhir itu dianggap tepat karena dari segi kecepatan sudah sangat cepat, dari segi biaya sangat effisien dan dari segi biaya operasi penggunaan listrik paling rendah.
Sekarang ini, Tiongkok sudah memiliki rute sepanjang 8.000 km untuk kereta peluru generasi pertama. Ditambah dengan yang generasi berikutnya, akhir tahun ini akan mencapai hampir 9.000 km. Akhir tahun depan mencapai 13.000 km. Dan akhir tahun 2015 sudah mencapai 16.000 km. Pertumbuhan rute kereta cepat sangat fantastis di sana.
Tentu ancaman petir ini sangat serius. Saya jadi takut untuk mencobanya lagi, terutama di bulan-bulan Juli dan Agustus seperti ini. Dua bulan ini adalah bulan datangnya hujan, badai, petir dan taifun di bagian timur Tiongkok sampai ke Hongkong dan Taiwan. Wenzhou, kota terjadinya kecelakaan kemarin, termasuk di kawasan pantai timur yang menjadi langganan cuaca ekstrem itu.
Kereta yang terlibat kecelakaan itu sebenarnya sudah hampir masuk stasiun Wenzhou. Sudah di pinggir kota. Tiba-tiba petir menyambar dan kereta berhenti mendadak. Malam yang gelap karena cuaca menjadi lebih gelap karena listrik di kereta juga mati. Beberapa menit kemudian tiba-tiba blaaaar! Kereta cepat berikutnya datang dan menabrak dengan keras. Gerbong-gerbong, baik yang ditabrak maupun yang menabrak anjlok keluar rel. Empat gerbong terjun ke jurang, salah satunya masih menggantung di bibir jembatan. Mayat-mayat segera diangkut ke rumah sakit dan yang selamat dikumpulkan di sekolahan setempat.
Daerah Wenzhou ini topografinya memang penuh pegunungan dan jurang. Saya pernah naik kereta (lama) dari Wenzhou ke Jinhua. Kereta selalu merayat di sela-sela gunung dan di bibir jurang. Tapi untuk kereta cepat ini sudah ada jalur baru. Gunung-gunung diterobos dengan terowongan dan lembah-lembah diatasi dengan rel layang. Kecelakaan itu terjadi di kawasan rel layang ini, sehingga kalau ada jembatan di situ bukanlah jembatan karena ada sungai.
Kereta yang tersambar petir tersebut adalah kereta untuk jurusan Hangzhou (ibukota propinsi Zhejiang) menuju Fuzhou (ibukota propinsi Fujian). Kota Wenzhou, lokasi kecelakaan itu ada di tengah perjalanan. Wenzhou sendiri adalah kawasan dagang yang paling menonjol di Tiongkok karena orang Wenzhou dikenal paling pandai dagang di seluruh Tiongkok. Untuk Tiongkok, Wenzhou adalah Belandanya Eropa.
Ketika zaman politik jadi panglima di Tiongkok pun orang Wenzhou tetap bisa berdagang secara diam-diam. Karena itu pedagangan dan peredaran uang bawah tanah sangat menonjol di Wenzhou.
Sepulang dari Tiongkok, kemarin saya harus ke Salatiga dekat Semarang. Lalu ke Solo. Dari Solo saya naik kereta api Argo Wilis ke Surabaya. Ini karena hari Minggu pagi kemarin saya harus ke Madura.
Naik Argo Wilis Solo-Surabaya ternyata enak juga. Naik kereta yang lebih lambat perasaan lebih tenang. Apalagi gerbong dan toiletnya juga selalu dibersihkan. Saya melihat ada kemajuan yang besar dalam pelayanan kereta api di Indonesia. Terutama sejak Dirut PT KAI-nya dipegang Jonathan, arek Suroboyo yang nekat itu.
Memang, kereta tiba terlambat 15 menit di Solo (dari Bandung). Tapi tiba di Surabaya tepat waktu. Rupanya keterlambatan itu bisa dikejar di rute Solo-Madiun. Pada rute ini (juga rute Jogja-Solo) kereta kita bisa melaju 100 km/jam. Ini baru separo kecepatan kereta cepat generasi pertama Tiongkok.
Rute selebihnya lebih rendah lagi. Banyak rute yang keretanya hanya bisa berjalan 80 km/jam. Bahkan untuk rute Malang-Blitar hanya bisa jalan 50 km/jam. Lingkungan dan konsidi rel tidak lagi memungkinkan untuk lebih cepat lagi.
Tentu saya akan terus mengikuti perkembangan infrastruktur kereta api ini. Baik di Tiongkok maupun di dalam negeri. Saya pasti ingin tahu bagaimana Tiongkok mencari jalan keluar agar kereta api cepatnya bisa anti petir secara sempurna! Saat naik kereta cepat Beijing-Shanghai saya sempat menghitung papas an dengan kereta dari arah berlawanan setiap berapa lama. Ternyata ada yang baru lima menit sudah berpapasan. Ada juga yang baru 7 menit dan 10 menit. Berarti dari belakang pun demikian. Berarti di belakang kereta saya itu banyak sekali kereta cepat yang siap menerkam dari belakang. Alangkah bahayanya kalau system informasi dan pencegahan tabrakan otomatis antar kereta itu mengalami kerusakan!
No comments:
Post a Comment