Wednesday, October 10, 2012

Kembalinya Guru Para Jenderal ke Medan Laga


Bagi yang penasaran mengapa SBY menunjuk T.B. Silalahi menjadi ketua Dewan Pengawas Partai Demokrat yang lagi di puncak kesulitannya, bacalah buku ini: TB SILALAHI (bercerita tentang pengalamannya). Jangankan mengurai benang kusut yang ruwet, Pak Harto yang begitu berkuasa pun berhasil TB (begitu dia akrab dipanggil) “tundukkan”.

Dalam buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang sangat menarik, lancar, dan mengalir oleh wartawan senior Atmadji Sumarkidjo ini, berbagai kisah penundukan TB diceritakan: menundukkan Jenderal Rudini, Jenderal Edy Sudradjat, dan banyak jenderal lainnya yang sebenarnya adalah atasannya. TB juga berhasil menundukkan para analis perang, berbagai universitas, para tokoh agama, dan yang hebat TB juga berhasil menundukkan dirinya sendiri.


TB berhasil pula menundukkan wilayah-wilayah berat seperti Sulsel dan Papua. TB yang Kristen Batak begitu berhasil merebut hati masyarakat di dua provinsi itu. Sampai-sampai, saat TB diangkat menjadi menteri di Kabinet Pembangunan VI, doa syukur bersama untuknya justru dilakukan oleh jamaah masjid di Enrekang, Sulsel, sesaat setelah TB dilantik. Bahkan, seorang gubernur Papua yang terkenal polos, Ishak Hindom, pernah berani menyampaikan kepada Pak Harto bagaimana kalau Papua merdeka saja: presidennya orang Papua asli dan perdana menterinya T.B. Silalahi!

TB memang brilian. Dia selalu lulus terbaik untuk jenis pendidikan apa saja yang pernah dijalaninya selama menjadi tentara. Mulai AMN sampai kursus-kursus yang begitu banyaknya. Termasuk saat mengikuti Sekolah Komando dan Lemhanas. Bahkan, ketika Seslapa, TB lulus dengan cum laude. Hanya sekali dia menjadi juara dua. Yakni, sewaktu menjalani tes masuk Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Itu pun akhirnya dia juga menjadi juara satu karena juara pertamanya rupanya ada masalah, lalu dicoret.

Kalau ada yang dia sesalkan adalah mengapa ditakdirkan tidak pernah mendapat kesempatan bersekolah di Amerika Serikat. Ini gara-gara hubungan Indonesia-AS memburuk tahun itu yang diingat melalui ucapan Presiden Soekarno: go to hell with your aid. Tapi, TB berusaha menundukkan dirinya sendiri: Dia pinjam semua buku yang dibawa pulang oleh perwira-perwira yang lebih dulu berkesempatan bersekolah militer di AS. Dia lalap semua buku itu. Tanpa bersekolah ke AS pun, penguasaan ilmunya bisa lebih unggul.

TB memang hobi membaca. Sebab, TB menyenangi tugas mengajar. Itu sempat membuat komandannya kaget ketika dalam mengisi formulir penempatan, TB memilih mengajar. Lulusan terbaik setiap jenjang pendidikan selalu mendapat prioritas untuk memilih ditempatkan di mana. TB memilih mengajar! Yang umumnya dijauhi perwira lain. Padahal, dia perwira kavaleri yang tangguh. Yang sangat menonjol di berbagai operasi, baik di Garut, Malangbong, Tasikmalaya (operasi penumpasan Kartosuwirjo), maupun operasi di Sulsel (penumpasan Kahar Muzakkar).

Menarik membaca alasan TB: Saya sudah cukup di pasukan, lama-lama di pasukan bisa bodoh! Maka, berangkatlah TB ke Pusat Pendidikan Kavaleri di Purabaya. Satu daerah pegunungan kapur di Jabar yang jauh dari Bandung. Sepanjang perjalanan ke kampus itu, TB harus melewati debu kapur sehingga sang guru sering tiba di kampus sebagai kera putih Hanoman.

Sebagai guru, TB tidak ada tandingannya. TB selalu terpilih sebagai pengajar terfavorit di setiap pemilihan pengajar oleh para siswanya. Tidak heran bila TB belakangan juga dikenal sebagai gurunya para jenderal. Tidak ada jenderal yang pada masa pendidikannya tidak pernah diajar dengan menarik oleh TB. Setidaknya, gelar itu diberikan Jenderal Wiranto.

Saat itu, Wiranto menjadi ajudan Presiden Soeharto. Ketika Pak Harto mulai tertarik dengan TB dan menanyakan siapa itu TB, Wiranto dengan singkat mengatakan bahwa TB itu gurunya para jenderal. Wiranto-lah yang selalu menjadi pintu bagi TB untuk bertemu Pak Harto. Belakangan, ketika hubungan TB dan Pak Harto sudah istimewa, justru Wiranto yang minta bantuan TB untuk memperlancar tugasnya sebagai ajudan presiden. Terutama kalau mood Pak Harto lagi mendung. TB-lah yang mampu mencairkan pikiran Pak Harto.

Itu ada ceritanya. Sewaktu TB harus menghadap Pak Harto menyampaikan masalah yang sangat penting, Wiranto mencegahnya. Pak Harto lagi bad-mood. Tapi, TB ngotot karena masalahnya memang penting. Di ruang kerja Pak Harto itu, TB mencari akal bagaimana membuat Pak Harto tidak lagi murung. Berceritalah TB mengenai kisah kehebatan Pak Harto yang pernah dia dengar dari para jenderal yang pernah mendengarnya. Yakni, mengenai pertempuran Ambarawa.

Waktu itu, Pak Harto diperintah Jenderal Gatot Subroto untuk mempertahankan sebuah bukit yang penting. Pak Harto dan pasukannya tidak boleh meninggalkan bukit itu sama sekali. Ketika malam Belanda membombardir bukit itu habis-habisan, Jenderal Gatot Subroto menangis.

Dia mengira Pak Harto pasti sudah tewas. Demikian juga pasukannya. Pagi itu, Gatot Subroto mengerahkan pasukan menyisir bukit tersebut untuk mencari mayat Pak Harto. Ternyata, Pak Harto masih hidup. Ternyata, Pak Harto, dengan perhitungannya sendiri, tidak menaati perintah atasannya itu. Pak Harto, sebelum malam tiba, sudah meninggalkan bukit tersebut.

Senjata TB itu sangat ampuh. Baru sebentar TB berkisah, Pak Harto sudah menimpali. Bahkan, Pak Harto-lah yang kemudian meneruskan kisah itu dengan semangatnya. Wiranto yang mendengarkan dari ruang sebelah merasa gembira. Maka, setiap melihat Pak Harto bad mood, Wiranto minta agar TB berpura-pura punya urusan dengan Pak Harto.

Hebatnya, TB menyadari, menjadi anak emas itu banyak tidak enaknya. Dan dia belajar banyak dari situ. Waktu Rudini diangkat menjadi KSAD, TB yang masih paban diminta menjadi orang nomor dua untuk menghadap. Padahal, mestinya para asisten dulu. Itu menimbulkan kecemburuan yang merugikan dirinya. Apalagi ketika akhirnya tahu TB-lah yang diminta membuatkan konsep tujuh perintah harian KSAD yang baru.

TB juga pernah menjadi anak emas Jenderal M. Jusuf. Mulanya dari kunjungan Menhankam/Pangab asli Makassar itu ke Makassar setelah meredanya kerusuhan anti-Tionghoa di sana. Jenderal Jusuf begitu senangnya kerusuhan tersebut berhasil diselesaikan dengan cepat. Karena itu, saat itu juga, di tempat rapat itu juga, Jenderal Jusuf minta pangkat Pangdam Hasanuddin Brigjen Soegiarto dinaikkan menjadi mayor jenderal.

Setelah itu, sang Pangdam dengan rendah hati mengemukakan bahwa kerusuhan tersebut cepat teratasi berkat peran asisten operasinya, Letkol T.B. Silalahi. Kebetulan, pangkat TB itu sudah agak lama tersendat. Mendengar itu, Jenderal Jusuf langsung mengeluarkan perintah yang mengagetkan: Ya sudah, naikkan pangkat Silalahi hari ini juga!

KSAD saat itu, Letjen Poniman, menjelaskan bahwa kenaikan pangkat tidak bisa dilakukan mendadak di tempat seperti itu. Setidaknya, harus dibuatkan dulu surat keputusannya di Jakarta. Setidaknya, harus dicarikan dulu nomor surat keputusan yang akan dibuat. Apa jawaban Jenderal Jusuf” “Tidak usah lah kau cari-cari nomornya. Kalau perlu, pakai nomor mobil saya,” perintah sang Jenderal.

Tentu tidak ada yang berani membantah perintah panglima ABRI. Tapi, ada kesulitan teknis untuk menaikkan pangkat TB saat itu juga. Dari mana bisa mendapatkan tanda pangkat kolonel di kota seperti Makassar yang akan disematkan di pundak TB” Sudah diusahakan dicarikan di toko-toko dan di pasar loak, tapi tidak ditemukan. Akhirnya, memang bisa didapat. Tapi, tanda pangkat itu sudah sangat kusam. Cepat-cepat tanda pangkat itu di-brasso untuk disematkan di pundak TB.

Kelak, peristiwa tersebut menyulitkan karir TB. Terutama setelah panglima ABRI-nya diganti. TB dikira “geng”-nya Jenderal Jusuf. Karirnya terhenti sangat-sangat lama dan penempatannya pun tidak di pusat kekuasaan. TB sempat frustrasi lagi. Sampai-sampai, saat berjalan pagi dengan istrinya di kompleks Seskoad Bandung, TB mengambil sikap yang dianggap istrinya sangat aneh. Ketika melewati patung Jenderal Gatot Subroto, TB berhenti: menghadap patung, memberi hormat militer dengan sikap sempurna, dan meneriakkan kata-kata berikut ini: “Pak Gatot, saya ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk?!” (hal 22).

“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.

Sangat menarik membaca bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri.

Kelihatannya buku ini berisi cerita tentang TB. Tapi, pada dasarnya, inilah buku tentang tokoh-tokoh militer Indonesia. Lengkap dengan sikap, karakter, dan pola kepemimpinan mereka. Hampir di semua bab TB bercerita tentang pertemuannya dengan tokoh militer.

Mulai Try Sutrisno sampai SBY. Masing-masing lengkap dengan gambaran gaya dan sikap kepemimpinan mereka. Semua itu menggambarkan bahwa faktor kepemimpinan sangat memengaruhi jalannya sejarah. Termasuk sejarah militer. TB, dengan keseniorannya, bercerita tentang tokoh-tokoh tersebut seperti tidak sungkan, tanpa beban dan tidak perlu menutup-nutupinya.

Sekarang ini, pada usianya yang sudah 72 tahun tapi masih gesit seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB tidak bisa membawa tank kavaleri. (*)

No comments:

Post a Comment