Wednesday, January 9, 2013

Sudah Dibilang, Jangan Cintai Dahlan Iskan! Dia Itu Jahat

Apa hubungannya mobil dimandikan dengan keselamatan? Emangnya setelah diruwat sudah pasti bakal selamat?
Bagi yang akal sehat dan logikanya baik, tentu akan menjawab dengan mudah: tidak ada kaitannya. Apalagi jika yang diminta menjawab itu adalah Dahlan Iskan, yang kita tahu logikanya sangat sehat, yang bertahun-tahun menyerukan bahwa sudah saatnya akal sehat ditegakkan – mengingat begitu banyak praktik-praktik dan sistem di negeri ini yang miring – untuk itu merasa perlu ditegakkan.


Saya baru hari ini membuat akun di kompasiana. Baru hari ini pula, Selasa, 8 Januari 2013, memposting tulisan untuk kali pertama yang kebetulan materinya seputar Dahlan Iskan (DIS).

Tentu saya tidak bermaksud mengajak Anda mencaci-caci dan memuja-muja Dahlan, apalagi membuatnya tampak sempurna. Di era informasi yang begitu terbuka saat ini, dimana kita bisa mendapatkan kabar model apapun secepat apapun lewat media apapun, kita tahu, mendorong orang menuju patrionisme adalah upaya yang sia-sia.

Maka yang mau mencaci silakan, yang mau memuji ya tidak apa-apa. Toh cacian dan pujian itu tidak membuat Pak Dahlan meninggal dunia.

***

Mengapa begitu beratnya kita percaya omongan baik seseorang yang kita anggap dia itu jahat? Karena memang sulit buat kita bersikap fair; bawah sadar kita, pandangan umum kita, terlanjur “menyetujui” seseorang itu jahat, maka seolah produk apapun yang keluar dari dia adalah jahat.

Pada teorinya, ada mutiara bahasa arab “unzur maa qoola wala tanzur man qoola” – lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan. Tapi pada prakteknya, kita kerap terjerumus pada anggapan “penjahat ya penjahat”

Sekarang, anggaplah Pak Dahlan itu penjahat. Karena segala yang buruk dari penjahat tidak perlu diikuti, mari mencari hal baik apa yang bisa kita ambil dari segala kejahatannya itu.

Pak Dahlan jahat saat membuka paksa pintu tol, tapi dari situ kita belajar soal kecepatan bertindak. Begitu pula saat ia dengan begitu jahatnya meninggalkan fasilitas, dan lebih banyak menghabiskan waktu di daerah-daerah terpencil mencari peluang mengembangkan BUMN ketimbang berada di kantor megah; kita belajar soal pentingnya menyelami urusan sampai ke level paling bawah.

Saat Dahlan menggelar rapat direksi BUMN di sebuah pagi hari libur (Jahat kan? Orang lagi libur diajak rapat) – kita bisa belajar tentang tanggungjawab dan dedikasi kepada profesi.

Ketika Dahlan dengan jahatnya tidak menghiraukan rencana interpelasi DPR RI saat ia mengganti beberapa komisaris BUMN, kita belajar soal tidak takut melakukan yang benar dan tak perlu cemas kehilangan jabatan.

Begitu pula serangkaian perjalanan kejahatan Dahlan saat mengabaikan seluruh pandangan pesimis orang-orang, ”Kalau sudah tahu bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga terbatas, dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah: mengapa kita terus mempertahankan pemakaian BBM?”

Juga dengan jahatnya ia mendeklarasikan perlawanannya terhadap BBM, “Tanpa ada gerakan nyata untuk melawan BBM, seumur hidup kita akan ngeri. Seumur hidup kita akan siap-siap berdemonstrasi. Seumur hidup kita tidak akan berubah!”

Makin lengkap kejahatan nya dengan propaganda ini,” Untuk melawan kenaikan BBM yang pernah, sedang, dan akan terjadi, tak ada jalan terbaik kecuali kita musuhi BBM!”

Jalan terbaik itu ditunjukkan Dahlan dengan semangatnya ia menjalankan proyek mobil listrik sebagai solusi jangka panjang negeri ini untuk mengatasi ketergantungan atas BBM. Dibalik semua “kejahatannya” saat ia menjalankan mobil listrik, sadarkah: Dari Dahlan kita belajar tentang pentingnya menemukan solusi ketimbang hanya terus merengek!

Dahlan hadir ikut mengurus negara ini ketika kita nyaris putus asa dan bertanya-tanya: masih ada kah di Indonesia ini hidup seorang pemimpin yang bersedia bekerja keras, menyelesaikan berbagai urusan berat dengan tangannya sendiri, tak takut melakukan yang benar, tak cemas kehilangan jabatan, tak memusingkan busuknya politik, dan ia melakukan semuanya dengan hati yang tulus dan tanpa pamrih?

Mungkin Dahlan bukan lah jawaban dari semua pertanyaan di atas. Tapi kita tahu, ia berbeda dari model umum pemimpin negeri ini yang telah kita kenal — dan membuat banyak dari kita nyaris putus asa.

Tapi, namanya Dahlan, di mana-mana tetap akan terus menuai kecaman keras. Terutama dari tingkat elit dan parpol. Tak sedikit yang mengatakan bahwa semua yang ia lakukan selama menjadi pejabat negara, tak lebih dari upaya pencitraan semata. Kita lupa, bahwa memang itulah “tugas” para pengamat; membentuk opini di tengah-tengah kita, bahwa seakan-akan tidak ada tindakan dari seorang petinggi di negeri ini yang tidak memiliki agenda atau muatan politik untuk menaikkan citra.

***

Goenawan Mohamad (GM), Intelektual, Budayawan, Pendiri dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang kesohor itu, menyitir pandangannya soal Dahlan dalam endorsement di buku I Love DISway; Dua Tangis Sejuta Damprat, bahwa langkah membangun harapan tidak bisa hanya dilakukan dengan diam-diam. Sebab pada dasarnya yang harus dikalahkan ialah sinisme dan apatisme di masyarakat, karena di sekitar yang kita hadapi adalah korupsi dan ketidak-adilan dan kebohongan.

Dahlan Iskan, dalam mata pandang GM, berani melakukan hal-hal yang membuat banyak di antara kita sadar, bahwa langkah perbaikan bisa dilakukan, dalam keadaan ruwet, dan BANYAK ORANG TAK TAHU DARI MANA HARUS MEMULAINYA.

Tak sedikit yang mengagumi dan mengharapkannya, banyak pula yang mencurigainya sebagai bagian dari pencitraan (kata lain dari kampanye) dan bahkan banyak juga yang merasa terancam olehnya. Tapi bisakah itu dielakkan?

Dalam situasi seperti sekarang, ketika kepercayaan kepada orang lain — terutama politisi dan pejabat publik, sangat rendah di kalangan “pengamat”, anggapan semacam itu TIDAK BISA TERELAKKAN.

Tapi, masih menurut GM, yang pertama-tama perlu dipersoalkan: apa sebenarnya yang salah dengan “pencitraan” — bahkan kampanye, jika yang ditampakkan adalah langkah-langkah yang bisa membuka kembali pintu harapan. Bahwa ada masih orang yang bisa bersedia, dan berani, berbuat yang “luar biasa”? Meskipun sebenarnya yang “luar biasa” itu, di negeri yang sudah tertib dan terbuka, adalah hal yang “biasa” — karena itu adalah langkah-langkah seorang menteri yang menjalankan tugasnya dengan baik dan bersemangat?

Goenawan Mohammad menambahkan, ketika Dahlan memasuki dunia pemerintahan, setelah bertahun-tahun di dalam dunia media dan bisnis swasta, ia berkata kepada saya, seperti merenung: “Kok begini, ya, jalan hidup saya jadinya?” Saya memandangnya terharu; saya mengenalnya, sejak di Tempo dan Jawa Pos, sebagai pekerja keras yang tak pernah punya sikap rakus akan materi. Saya hanya mengatakan: “Mungkin ini tugas, Lan (Dahlan), seperti juga sebenarnya ketika kita jadi wartawan.”

Tugas, maksud GM waktu itu, adalah kewajiban yang tak ditentukan oleh majikan, melainkan oleh keinginan berbuat sesuatu yang berarti bagi Indonesia. Saya tak tahu sampai kapan dan di mana akhirnya. Kelak Dahlan akhirnya jadi pemimpin bangsa atau tidak, bagi GM, Dahlan mampu menunjukkan satu hal: keberanian.

Dan keberanian hari ini adalah keberanian menciptakan harapan masyarakat yang merasa ada hal-hal yang terus menerus gagal ditegakkan, yakni kebersihan, kejujuran, keterbukaan. Keberanian itu jadi penting karena kita tahu, HARAPAN ITU BESOK BISA SAJA RUNTUH LAGI.

Dan GM adalah salah satuyang percaya Dahlan akan jalan terus dengan keberanian itu. Apakah kita termasuk yang ikut percaya?

***

Kita tentu percaya, warga yang jujur hanya mencintai pemimpin yang jujur. Warga pekerja keras akan sependapat dengan pemimpin pekerja keras. Pemimpin yang kita ikuti adalah cerminan karakter kita sendiri.

Kita tentu tidak akan merendahkan diri kita sendiri dengan menyukai pemimpin yang gemar berbohong, lamban, tak berani mengambil keputusan, sibuk dengan pencitraan, tersandera oleh kepentingan politik, korup, elitis, pemalas, dan tak segan-segan mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan diri dan kelompoknya.

Kita tak akan memilih orang-orang seperti itu. Karena kita memiliki karakter yang berkebalikan dari itu semua. Kita memiliki segenap karakter-karakter positif yang dibutuhkan bangsa ini untuk maju.

Untuk semua itu, kita tak harus mencintai Dahlan Iskan. Meski laki-laki tersebut memiliki sebagian besar hal yang kita cintai – khususnya bagi mereka yang mencintai kejujuran, keberanian, kerja keras, keikhlasan, kerendahan hati, kecerdasan, totalitas, tidak gentar berbuat yang benar dan hanya takut kepada Tuhan.

No comments:

Post a Comment