Monday, October 21, 2013

Saking Pintarnya Petani, Terjadilah Krisis Kedelai



Perjalanan Dahlan Iskan ke Sekolah Petani Kampar (2)

Keberhasilan Muslim, petani miskin dari Kabupaten Kampar, Riau, yang sekarang menjadi jutawan setelah bersekolah 15 hari, menurut Menteri BUMN Dahlan Iskan sangat membanggakan sekaligus “membahayakan”. Kok bisa?

Menteri BUMN Dahlan Iskan benar-benar kagum mendengar “success story” Muslim. Bagaimana tidak? Selama 10 tahun, Muslim sudah membanting tulang menjadi petani, tetapi kesejahteraannya tak kunjung membaik. Sekarang, dengan belajar 15 hari di sekolah petani, Muslim mendadak menjadi warga yang berkecukupan.

Masa pendidikan di sekolah petani Kampar ini memang hanya berlangsung 15 hari. Selama itu, para siswa memperoleh berbagai pengetahuan pertanian yang diajarkan melalui teori dan praktik dengan komposisi 30 : 70. “Petani itu bukan jenis orang yang senang diceramahi. Harus banyak praktiknya,” jelas Bupati Kampar Jefry Nur. 


Selepas pendidikan, siswa yang lulus mendapat sertifikat. Dengan sertifikat itu, petani bisa mengajukan kredit melalui bank perkreditan rakyat (BPR) dengan pola bisnis perbankan yang umum. “Jadi, ini bukan model kredit usaha tani atau KUT. Ini skemanya bisnis biasa. Peran sekolah ini adalah memberi pengetahuan bagaimana bisa menjadi petani yang punya ilmu untuk lebih berhasil,” jelas Jefry.

Ilmu pengetahuan. Itulah kata kuncinya. “Pak Muslim berhasil mengubah taraf hidupnya dengan sangat cepat karena ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari sarjana IPB yang mengajar di sekolah petani,” komentar Dahlan.

Bila semua petani berkesempatan menimba ilmu di sekolah petani Kampar seperti Muslim, Dahlan sangat yakin taraf hidup petani di seluruh Indonesia akan segera membaik. “Ini program kerja yang konkrit,” jelas Dahlan.

Dahlan mengaku sangat bangga dengan makin banyaknya petani yang pintar-pintar di Indonesia. “Saking pintarnya para petani kita, sampai-sampai kita krisis kedelai,” tutur Dahlan yang disambut tawa riuh ribuan alumni sekolah petani Kampar.

Mengapa petani yang makin pintar menyebabkan krisis kedelai? “Karena petani sekarang bisa membanding-bandingkan, tanam ini hasilnya sekian. Tanam itu hasilnya lebih baik. Tanam yang lain, hasilnya rugi. Hanya petani pintar yang memiliki pengetahuan ini,” jelas Dahlan.

Petani yang pintar, kata Dahlan, pasti tidak mau menanam kedelai lagi. Mengapa? “Karena berdasarkan hitung-hitungan bisnis, satu hektar sawah bila ditanami kedelai hanya bisa menghasilkan uang Rp 7 juta. Sedangkan bila ditanami padi, satu hektar sawah menghasilkan uang Rp 20 juta. Bila ditanami cabai, Pak Muslim bisa menghasilkan lebih dari Rp 400 juta per hektar,” lanjut Dahlan.

Keengganan petani menanam kedelai itu, kata Dahlan, bisa menimbulkan problem besar yang cukup berbahaya. Tapi, di sisi lain, sikap petani itu telah berhasil mengangkat derajat kehidupannya dari warga miskin menjadi sejahtera. “Itu sebuah konsekuensi logis yang harus dihadapi bersama,” kata Dahlan.

“Coba saja kita rayu Pak Muslim untuk musim tanam yang akan datang menanam kedelai saja. Saya yakin Pak Muslim tidak mau. Jangankan dirayu, dipaksa pun dia tidak akan mau,” kata Dahlan.

Karena petani semakin banyak yang pintar, aparat pemerintah dituntut untuk belajar agar bisa mengimbangi dinamika masyarakat pertanian. Kalau aparat pemerintah tidak berusaha untuk lebih pintar, petani akan tetap malas menanam kedelai. Produsen tempe akan terus kesulitan mendapatkan bahan baku dan seterusnya.

“Kalau sekolah petani di Kampar ini bisa menjadi model di seluruh Indonesia, alangkah cepatnya pembangunan di pedesaan kita,” kata Dahlan.

Siapa berani mencoba? (bersambung)

Joko Intarto @IntartoJoko

No comments:

Post a Comment