Sunday, October 20, 2013

Sama-sama Aktivis, Sama-sama Jualan Koran



Tidak lengkap mengisahkan Dahlan Iskan di Samarinda pada dekade 70-an tanpa menyebut nama Nafsiah Sabri. Perempuan asal Loa Kulu, Kutai Kartanegara ini adalah ibu dari anak-anak Pak Menteri.

AAN R GUSTAM*

PEREMPUAN yang biasa saya panggil ‘kakak’ ini setia mengikuti Dahlan dari awal kehidupan yang sangat pahit. Setelah menikah, mereka menyewa rumah sangat sederhana di Samarinda.

Seluruh tiang rumah sewaan ini menancap di Sungai Karang Mumus, anak Sungai Mahakam. Hanya teras rumahnya yang menempel di bibir jalan raya. Tak ada perabotan memadai di rumah itu. Kasur tempat mereka tidur pun harus digulung kalau siang hari agar rumah tanpa kamar itu tetap terasa lebar.


Nafsiah adalah seorang guru SD. Gajinya banyak menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda --kini presiden direktur Jawa Pos, mereka bisa menyewa rumah yang ada kamarnya meski di gang sempit.

Bagaimana keduanya bertemu? Nafsiah dan Dahlan sama-sama aktivis di Pelajar Islam Indonesia. “Bapak Rully (Azrul) itu dulu tidak bisa pacaran. Aku ini dulu yang habis-habisan yang memacari dia,” cerita Nafsiah sembari terkekeh-kekeh.

Setelah direkrut Majalah Tempo, pada akhir dekade 1970-an, Dahlan pindah ke Surabaya dan menjadi kepala biro Jawa Timur. Dahlan sering terlihat tidak sabar. Dia seperti ingin segera menggulung dunia. Majalah Tempo yang terbit sekali seminggu membuat Dahlan merasa banyak menganggur. Sementara materi berita di Jawa Timur banyak sekali.
Wartawan seproduktif Dahlan tentu gelisah.

Diam-diam, Dahlan menulis berita untuk sebuah media di Surabaya. Bahkan berita-berita yang ditolak Tempo ia kirim ke media itu. Dia pernah ditegur Tempo dengan sikapnya. Sejak di Samarinda, keinginan Dahlan memiliki koran harian memang besar sekali.

AWAL MULA JAWA POS

Potensi dan semangat Dahlan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan manajemen Tempo membeli harian Jawa Pos. Dengan modal awal Rp 40 juta, lima redaktur potensial, 5.000 eksemplar oplah tiap hari, ditambah spirit dan optimisme tinggi, pada awal dekade 1980-an Dahlan bergerak menjajakan Jawa Pos dengan manajemen baru.

Ketika Jawa Pos terus merangkak naik, Dahlan menawari saya membantu menangani di Malang, Jawa Timur. Dengan banyak pertimbangan, saya memilih sekaligus membujuk Dahlan mendirikan harian di Kaltim. Tentu permintaan saya ini bukan hal yang mudah karena Jawa Pos masih perlu investasi besar. Ketika itu, Kaltim memang masih belum diperhitungkan dari segi bisnis surat kabar. Tapi dengan iktikad baik dan ingin membalas budi kepada masyarakat Kaltim, Dahlan akhirnya bersedia mendirikan surat kabar harian yang akhirnya diberi nama ManuntunG pada 1988.

Toh, keputusan Dahlan itu tidak salah. Dari seluruh anak perusahaan Jawa Pos, media yang kini bernama Kaltim Post itu merupakan perusahaan paling sukses.

Kembali ke Nafsiah, pada tahun-tahun pertama Dahlan menangani Jawa Pos, istrinya itu selalu bolak-balik dari rumah ke kantor membawakan baju ganti dan makanan. Dahlan seringkali tidak sempat pulang. Biarpun ketika itu sudah punya mobil, Nafsiah tidak bisa memakai mobil itu dengan leluasa karena dipakai mengangkut koran Jawa Pos.

Selain itu, Nafsiah diminta Dahlan menjadi agen Jawa Pos untuk daerah Rungkut Tenggilis Mejoyo, tempat tinggal mereka. Selesai salat subuh, Nafsiah nongkrong di teras, melipat dan menghitung jumlah koran.

Nafsiah sebenarnya ingin kembali mengajar di sekolah, tapi Dahlan tidak mengizinkan. Bahkan perempuan ini tidak bisa lagi menemukan ijazah dan surat-surat penting lainnya. Ketika ijazah itu ia tanyakan kepada Dahlan. Jawaban Dahlan, “Sudah saya bakar.” Tapi Nafsiah tidak yakin suami yang dipanggilnya dengan sebutan ‘Bapak Rully (Azrul)’ itu telah membakar ijazahnya. Curiganya, surat-surat penting Nafsiah hanya disembunyikan,” tuturnya.

Meski bersuara lantang dan tegas, perempuan kelahiran Samarinda ini tetap lembut, humoris, dan penuh perhatian. Saat Dahlan hendak turun kerja, ia seringkali memanggil dan mengejar Dahlan sampai ke pekarangan rumah untuk sekadar membetulkan kerah baju yang tidak teratur. Kadang, dia menyisir rambut Dahlan yang awut-awutan. Saya pernah berseloroh, “Untung saja Mas Dahlan tidak pakai sepatu. Kalau tidak, kakak harus tambah kerjaan ekstra, membetulkan tali sepatunya.”

Sampai mereka menempati rumah lumayan bagus di Rungkut, Surabaya, memperhatikan kerapian Dahlan itu tetap dilakukan. Tentu tidak ada seorang pun yang melebihi kecemasan Nafsiah ketika diputuskan hati Dahlan harus diganti karena serangan kanker yang ganas. Dan alhamdulillah, semuanya berjalan baik.

Berbekal keuletan, ketabahan, keteguhan dan kesabaran hati, tidak berlebihan kalau saya sebut Nafsiah merupakan salah satu faktor sangat penting dalam menentukan sukses Dahlan Iskan.

Di luar itu, sebagai perempuan Nafsiah acapkali digoda rasa cemburu. Maklum, Dahlan adalah sosok yang populer bak selebriti. Namun dengan iman dan pemikiran muslimahnya, Nafsiah mampu mengatasi goncangan perasaannya.

TIDAK BERUBAH

Membesarkan Jawa Pos bagi Dahlan tidaklah mulus-mulus amat. Koran ini beberapa kali didemo masyarakat disebabkan pemberitaannya. Dari beberapa demo, Dahlan menemukan kesamaan yang aneh. Ia kemudian menceritakan kembali demo-demo yang terjadi di kantor redaksi Jawa Pos.

Pertama Jawa Pos didatangi pengunjuk rasa karena berita penghapusan ‘becak’ di Surabaya. Kedua, didemo karena berita soal ‘babi’. Kemudian didemo lagi oleh ‘banser’ karena berita tentang Gus Dur. Selain itu, Dahlan tidak pernah sukses menangani ‘bola’ ketika menjadi manajer Mitra Surabaya. “Saya ini sepertinya tidak begitu cocok menangani persoalan yang diawali huruf B,” candanya.

Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut Dahlan ‘autodidak brilian bertangan dingin’. Sukses yang dicapainya hingga sekarang merupakan jerih payah keuletan, ketekunan, kejujuran, dan nasib baik.

Meski Dahlan sudah jadi orang sukses dan penting secara nasional, penampilan dan karakternya tidak banyak berubah. Komitmen moralnya terhadap orang kecil tetap konsisten. Di usianya yang sudah 61 tahun, dengan tanggung jawab pekerjaan yang makin luas, Dahlan tetap pekerja keras dan produktif menulis.

Kepada teman-temannya di daerah yang dulu dibinanya menjadi wartawan, ia tetap hangat kalau bertemu. Saya kira, tidak banyak yang berubah dari Dahlan, kecuali dua hal: isi dompet dan status sosialnya. (***)


*) Aan R Gustam cukup lama bersama Dahlan Iskan di Surat Kabar Mimbar Masyarakat di Samarinda. Pernah menjadi redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian ManuntunG.

No comments:

Post a Comment